Analisis: Teologis-Etis Tokoh Agama Beri Dukungan Politik
SATUHARAPAN.COM – Tokoh agama berperan untuk menaungi seluruh umat agamanya, bahkan untuk semua agama. Namun, bagaimana secara teologis-etis saat tokoh agama mendukung partai politik?
Sebab, menghadapi Pemilu untuk DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang nanti akan diadakan pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden pada Juli 2014, mungkin banyak orang menjadi bingung. Ini karena ada banyak pilihan dengan pertimbangan dan kepentingannya.
Saya sendiri awalnya dibuat bingung, walau bukan karena memilih mana tetapi soal menerima atau menolak permintaan untuk mendukung sebuah partai atau calonnya. Ini terjadi ketika beberapa teman dan kenalan mengirim sms, messenger, bertelepon atau bahkan berkunjung langsung ke rumah untuk meminta dukungan, mulai dari dukungan, dari doa, memilih nama atau partainya, sampai meminta bantuan untuk mengumpulkan massa. Yang berat adalah permintaan untuk mengumpulkan anggota gereja.
Permintaan yang membingungkan ini saya atasi dengan jawaban “Ok, saya dukung dalam doa, semoga kehendak Allah yang terjadi.”Sedangkan permintaan mengumpulkan warga gereja saya tolak. Saya rasa jawaban itu adalah yang paling aman untuk memberi kesan bahwa saya mendukung tetapi tidak menyatakan bahwa saya akan memilih partai atau orangnya; apalagi berdoa meminta Tuhan untuk memenangkannya. Saya tidak akan melakukan itu.
Gejala lain yang menarik dari “pesta politik” yang menghabiskan dana sekian puluh triliun rupiah ini adalah penggunaan simbol, ajaran dan ayat kitab suci dari agama yang dianut para calon atau partai dan daerah tempat berkampanye. Seorang teman yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD mengirim pesan di media messenger dan meminta dukungan dengan memilih partai atau nama-nomornya sambil ia melampirkan ayat Alkitab-Kristen.
Banyak spanduk yang digunakan dalam kampanye juga menggunakan ayat kitab suci dari agama umat di tempat itu. Saya menyaksikan di televisi, pembukaan kampanye suatu partai di Depok-Jawa Barat dimulai dengan doa menurut agama Islam. Bisa dipastikan bahwa partai yang sama, ketika berkampanye di Minahasa-Sulawesi Utara membukanya dengan doa Kristen; dan jika berkampanye di Bali, akan menggunakan doa Hindu, dan seterusnya.
Di dalam dunia politik, sebagai warga negara, keinginan dan ketegasan memilih wakil rakyat atau presiden, gubernur dan seterusnya, adalah wajar dan merupakan haknya. Juga, wajar dan bahkan perlu ketika seseorang secara pribadi membawa agama yang dianutnya atau ia mengandalkan Tuhan yang disembahnya untuk sukses di dalam usaha atau keterlibatan politisnya.
Sama halnya juga dengan sebuah partai yang memang berdasar atau berakar pada agama tertentu membawa simbol-simbol atau ajaran agamanya itu, misalnya pada partai-partai yang memiliki akar agama tertentu itu seperti PBB dan PKS pada Islam dan PDS pada Kristen. Bagi partai-partai ini membawa simbol-simbol agama adalah wajar karena ideologi politik dan agama menyatu.
Tentu dari pihak partai, dukungan akan secara khusus dicari dari umat agamanya itu. Bahwa diharapkan umat agama tersebut akan memilih partai itu karena ia menjadi saluran aspirasi politik dan agamanya. Persaingan untuk menjadi pihak yang menang adalah wajar. Inilah ranah politik.
Namun, dalam wilayah agama, dukung mendukung dalam pertarungan politik tidaklah pantas terjadi. Agama dan politik memiliki wilayah yang berbeda. sesuai dengan fungsinya, maka boleh dan benar jika agama menjadi dasar atau sumber nilai di dalam ber-politik. Tetapi, memanfaatkan agama untuk kepentingan pertarungan politik atau sebaliknya, memanfaatkan kekuatan politik dalam perseteruan agama tentu tidak benar dan tidak boleh terjadi. Ini karena tentu umat yang berbeda agama atau dalam satu agama akan terbagi dalam kelompok yang bisa saling berseteru, memusuhi dan menyerang. Ini tentu tidak sesuai ajaran agama apa pun.
Apalagi jika melibatkan pemimpin atau tokoh agama yang mendukung satu partai atau calon. Tokoh agama atau rohaniwan tidak berfungsi seperti artis penyanyi yang ketika diundang untuk menyanyi dalam kampanye partai A, dia menyanyi dan mendukung partai A. Tetapi ketika diundang oleh partai B, dia juga menyanyi dan mendukung partai B. Tokoh agama berperan untuk menaungi seluruh umat agamanya, bahkan untuk semua agama.
Ada persoalan teologis-etis atau baik-buruknya di dalam melibatkan dukungan agama atau tokohnya pada partai atau calon tertentu. Tokoh agama adalah hamba atau abdi Allah. Ia melayani Allah dan umat-Nya tanpa membeda-bedakan atau memihak pada satu orang atau kelompok. Seorang tokoh agama yang berdoa meminta Tuhan untuk memenangkan partai atau orang tertentu telah menunjukkan keberpihakannya.
Tindakan memihak sudah menandakan pandangan dan sikap yang mendukung perpecahan di dalam umat. Ia membuat umat bingung mau pilih yang mana; hati nuraninya ingin memilih partai atau si A tetapi pemimpin agamanya mendukung atau bahkan menyuruh memilih partai atau si B. Tokoh agama yang memihak dan membingungkan apalagi menimbulkan perpecahan di dalam umat tidak layak disebut sebagai hamba Allah.
Di samping itu, jika ada partai yang berideologi agama tertentu, diperhadapkan dengan yang lain akan mengesankan bahwa Tuhan dari agama partai yang satu itu diadu atau beradu dengan Tuhan dari kelompok agama lain; Tuhan Kristen beradu dengan Tuhan Hindu, Tuhan Islam beradu dengan Tuhan Kong Hu Cu, dengan Tuhan Kejawen, Parmalim, Kaharingan, atau dengan Tuhannya para dukun seperti Ki Joko Bodo dan Ki Gendheng Pamungkas dan sebagainya.
Akibatnya, jika partai A menang maka Tuhan agamanya akan dipuji sebagai Tuhan yang paling hebat. Tetapi jika kalah, Tuhan yang dianutnya bisa dinilai lemah dibanding Tuhan agama lain. Pandangan dan penilaian ini tentu melecehkan Tuhan. Karena itu, usaha dalam ranah politik dengan membawa-bawa agama atau Tuhan tertentu tidaklah layak. Ia merusak umat, citra agama dan Tuhan. Semoga umat yang berpolitik membawa agama dan Tuhan yang dianut dalam ranah pribadi atau kelompok-partai, dan tokoh agama menjadikan agama sebagai dasar atau sumber nilai moral-etis dalam diri umat yang berpolitik, dan tidak melibatkan agama dalam politik praktis sehingga tidak membuat umat bingung.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...