Anggota DPR Minta Polri Bebaskan Minoritas dari Diskriminasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang tergabung dalam Kaukus Pancasila meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melindungi kaum minoritas dari tindak diskriminasi masyarakat.
Permintaan itu disampaikan Kaukus Pancasila yang terdiri dari Maman Imanulhaq dan Nihayatul Wafiroh (PKB), Desy Ratnasari (PAN), Saraswati Djojohadikusumo (Gerindra), dan Eva Kusuma Sundari (PDI Perjuangan), saat bertemu Kepala Polri, Jenderal Polisi Badrodin Haiti, di Markas Besar Polri, Jakarta, hari Selasa (8/3).
Maman mengatakan, Kaukus Pancasila meminta Polri melindungi kaum minoritas agar penghancuran gereja ataupun pengusiran masyarakat tidak terjadi kembali di Tanah Air.
"Intinya kami tidak ingin lagi ada orang menghancurkan gereja, mengusir WNI dari kampung halaman sendiri, kami tidak ingin ada pengungsi Syiah, Ahmadiyah, dan beberapa korban Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang tidak ditangani negara," kata Maman saat dihubungi satuharapan.com, di Jakarta, hari Selasa (8/3).
Selain itu, kata dia, Kaukus memberikan masukan kepada pemangku kebijakan di Indonesia agar tidak ada lagi kelompok-kelompok yang menentang Pancasila. "Itu dari hasil FGD (diskusi kelompok forum) yang kami lakukan dari tanggal 15 Februari, masukan dari korban intoleransi, korban diskriminasi atas nama agama. FGD juga memberikan masukan dari kelompok-kelompok peneliti atas kekerasan agama dan konflik," kata Maman.
Menurutnya, Badrodin menanggapi permintaan Kaukus dengan baik dan memberikan sejumlah masukan terkait penyempurnaan regulasi.
Pertama, kata Maman, Badrodin meminta revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) agar memuat sanksi bagi calon kepala daerah yang memanfaatkan konflik agama untuk mendapatkan dukungan. Kemudian, Badrodin juga meminta dimuatnya sanksi kepada kepala daerah yang membiarkan atau mendorong pelanggaran konsitutis terjadi.
“Kalau seorang Presiden melanggar konstitusi bisa di-impeachment, sekarang kalau ada kepala daerah yang membiarkan bahkan mendorong bagaimana?” ujar dia.
Lebih lanjut, kata Maman, Badrodin juga meminta revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipercepat, untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok radikal.
Kemudian, menurut politikus PKB itu, pada poin berikutnya, Badrodin menyampaikan hal menarik. Menurut Badrodin, kata Maman, pemahaman anggota Polri terkait konflik berbasis agama sangat terbatas. Anggota Polri tidak mungkin berdebat terkait agama saat melakukan pengamanan di daerah.
Tanggapan Badrodin
Ketika dikonfirmasi, Badrodin membenarkan hal tersebut. "Penjelasan saya adalah ada anggota yang paham dan tegas dalam menghadapi konflik seperti itu, ada juga yang tidak. Ada juga yang argumentasi soal agama, ya kalah dengan ahli agama," kata Badrodin.
Dia juga menyebutkan, ceramah agama terkadang bemuatan kebencian. Hal tersebut, kata Badrodin, tidak bisa diselesaikan dengan argumentasi agama, melainkan harus melalui jalur argumentasi hukum.
Solusinya, kata Badrodin, masyarakat Indonesia harus mendapatkan edukasi yang lebih baik. Masyarakat harus memahami bahwa dalam hidup bernegara ada konstitusi yang harus dijunjung tinggi.
Dia juga membenarkan perlu ada revisi peraturan-peraturan untuk dapat menjalankan rekomendasi Kaukus. Misalnya, perbaikan pada UU Pilkada yang mengatur setiap kandidat agar menjalankan janjinya saat kampanye. Sebab, saat kampanye biasanya janji calon kepala daerah ada yang menyangkut masalah diskriminasi. Namun, setelah Pilkada selesai, janji tersebut tidak direalisasikan
Kemudian kepala daerah yang mengusir warganya juga, kata Badrodin, perlu diberikan sanksi karena melanggar konstitusi. "Kalau presiden langgar konstitusi kan impeachment, kalau bupati langgar konstitusi lalu apa sanksinya? Tidak ada," kata dia.
Editor : Bayu Probo
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...