Anggota Kamikaze, 3 Kali Rencanakan Serangan, Jadi Pendeta
OKINAWA, SATUHARAPAN.COM - Seorang pendeta mengisahkan bahwa dia tiga kali merencanakan serangan bunuh diri untuk Jepang selama Perang Dunia II. Namun pria yang sekarang berusia 87 tahun bernama Paul Saneaki Nakamura itu justru akhirnya memilih menjadi seorang pendeta di tengah kehancuran negaranya.
Nakamura baru-baru ini berbagi pengalamannya dalam militer Jepang pada sekitar 300 marinir di Kamp Hansen di Okinawa, Jepang, seperti dilaporkan situs Stars and Stripes, layanan berita komunitas militer AS. Dia bercerita tentang pengalaman dalam pelatihan sebagai pilot kamikaze, torpedo manusia dan pelaku bom bunuh diri.
"Saya selalu berpikir bahwa pengalaman saya mungkin baik dibandingkan dengan kisah Keluaran," katanya, mengacu pada bagian Alkitab di mana orang Israel meninggalkan Mesir, yang dipimpin oleh Musa. Nakamura sekarang adalah pensiunan Uskup dari Gereja Anglikan.
Generasi Militerisme Jepang
Dia dibesarkan di Okinawa ketika militerisme merambah seluruh wilayah Jepang. Seperti banyak orang lain, dia menjadi ultra nasionalis yang dengan tegas percaya pada pengabdian tanpa pamrih bagi negaranya. Dia memuja kaisar sebagai dewa, menawarkan hidupnya untuk kaisar adalah kebajikan yang utama.
Ketika dia masih di sekolah menengah, Perang Dunia II menyebar ke Pasifik, menyusul serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Para siswa diajari bagaimana menggunakan senapan, menargetkan patung jerami sebagai tentara Amerika, katanya.
Propaganda perang membanjiri berita dengan kemenangan tentara kekaisaran, terutama dalam pertempuran di Tiongkok, katanya. "Kami yakin bahwa tentara Jepang dengan sukses besar yang adalah tentara dewa yang dibantu kekuatan khusus ilahi," katanya.
Namun pada bagian akhir perang, hal itu jelas bahwa Jepang kalah dalam perangan, korps bunuh diri pun dibentuk. Beberapa kapal selam musuh dibom. Serangan tersebut pertama dilakukan pada Oktober 1944 di kawasan Teluk Leyte, Filipine.
Operasi putus asa itu mengorbankan ribuan nyawa pemuda: pilot kamikaze dan pelaut kapal.
Bukan Anak Sulung
Nakamura menceritakan bahwa pada saat itu, ada dua kategori pria di Jepang. Pertama, anak sulung yang diizinkan untuk tetap hidup meneruskan garis keluarga. Sisanya sebagai kategori kedua diharapkan untuk menawarkan kehidupan mereka bagi kaisar. Sebagai anak kedua, Nakamura masuk kategori kedua.
Pada Maret 1944, Nakamura berusia 17 tahun dan mengajukan diri untuk menjadi pilot kamikaze dan meninggalkan Okinawa untuk pelatihan. Kekurangan pesawat yang dialami militer Jepang mengakibatkan persipannya terhambat, katanya.
"Apa yang kami lakukan dalam pelatihan sebagai penerbang," adalah peserta terpaksa menggunakan imajinasi mereka mengenai instrumen di pesawat, katanya.
Jadi pelatihan difokuskan hanya pada disiplin diri, bukan pada teknik praktis. Setelah semua itu, tidak ada keterampilan lain yang diperlukan, kecuali terbang lurus, katanya.
"Kami diajarkan sejak kecil sebagai negara kepulauan kecil, dan karena kami satu negara berperang melawan banyak negara, diperlukan pengorbanan besar," katanya. Jika salah satu kamikaze bisa meledakkan sebuah kapal yang membawa ratusan pelaut, dia akan menjadi pahlawan, dan yang lebih penting, Jepang bisa memenangkan perang, katanya.
"Keyakinan ini membuat banyak pemuda bersedia dan menginginkan untuk mengabdi pada negara," katanya.
Dia mengingat kata-kata terakhir dari seorang kawan: "Anda dapat menyantap makan malam ini." Sebelum dia berangkat untuk misi kamikaze. Dan hal itu benar-benar menjadi perjalanan satu arah; tidak ada bahan bakar yang dimuat untuk penerbangan kembali.
Nakamura dan sesama trainee lain juga minum sake bersama-sama dengan dia, sebuah ritual Jepang untuk perpisahan.
Kehabisan Pesawat
Sebelum Nakamura mendapatkan giliran untuk minum sake terakhir, angkatan laut kekaisaran kehabisan pesawat untuk operasi pertempuran. Namun kesempatan berikutnya juga belum jelas.
Korps bunuh diri khusus itu terdiri dari kelompok perahu motor bunuh diri dan torpedos manusia. Nakamura dipilih untuk yang kedua. Serangannya akan menggunakan kapal selam dengan satu orang, dan tidak memiliki pintu keluar darurat. Setelah Anda masuk, tidak ada jalan untuk keluar, katanya.
"Saya mengatakan bahwa ini tidak memiliki konsekuensi, karena itu adalah cara melayani yang saya bisa lalukan," katanya. "Saya punya iman martir."
Tetapi torpedo manusia juga habis sebelum Nakamura mendapat giliran, sehingga dia terpilih menjadi pelaku bom bunuh diri. Dan dia dikirim ke Sasebo, di mana dia diajari menggali lubang, menyembunyikan bom yang terikat pada tubuhnya dan menunggu tank musuh datang. "Saya menggali banyak lubang dan menunggu datangnya giliran saya," katanya.
Namun sebelum bom di tubuhnya bisa diledakkan bersama tank musuh, perang berakhir. Dan kemudian dia diberhentikan dari militer kekaisaran, namun tidak ada cara untuk kembali ke Okinawa. Inflasi sangat besar, dan uangnya hampir tidak berharga lagi.
Menjadi Pengemis
"Saya menjadi seorang pengemis di jalan," katanya. Dia menghabiskan banyak malam di bangku stasiun kereta api. Kelaparan menyiksanya, tapi mencari pekerjaan juga tidak mudah didapat ketika seluruh negeri telah hancur.
"Saya harus mengakui bahwa saya benar-benar merindukan hidup saya sebelumnya ketika saya masih di tentara kekaisaran," di mana tidak ada kebebasan, tapi dia memiliki makanan, pakaian hangat dan tempat tidur.
"Anda ingat ketika orang Israel mengembara di padang gurun, mereka selalu rindu untuk kembali ke Mesir," katanya mengacu pada bagian dari Alkitab, Kitab Keluaran. "Pada waktu itu hidup saya putus asa dan kesepian, saya kehilangan martabat saya sebagai manusia."
Satu-satunya harapan adalah bersatu kembali dengan orangtua yang hidup cukup aman di Taiwan. Untuk menyenangkan mereka, nakamura memutuskan untuk kuliah di perguruan tinggi pada malam hari dan membayar uang kuliah dengan hasil dari pekerjaan. Dia berusia 19 tahun ketika itu.
Dia juga mulai pergi ke gereja, di mana dia mendapatkan kehangatan, orang yang menyambut dengan ramah membuatnya merasa di rumah. "Keinginan saya untuk kembali ke kamikaze dan tentara kekaisaran sudah tidak ada lagi," katanya.
"Saya tidak tahan di dalam kelas," katanya. Hingga saat itu dia tidak tergoyahkan keyakinannya dengan identitas Jepang secara utuh. Namun seorang pendeta mengatakan bahwa Jepang telah mati. Sebab, jika Anda tidak bisa merasakan sakit ketika jari kelingking terputus, itu berarti bahwa tubuh Anda sudah mati.
"Kemudian dia menawarkan kepada saya untuk menjadi seorang pendeta untuk membantu Jepang untuk memulihkan kehidupan, seperti Yesus memulihkan hidup Lazarus yang sudah empat hari dalam kematiannya," katanya.
Semua Anak Sulung Mati
Nakamura kemudian masuk sekolah teologi. Namun ketika dia akhirnya kembali ke Okinawa, dia menyadari bahwa semua anak sulung yang tinggal di sana telah meninggal dalam Pertempuran Okinawa. Dia merasa bersalah karena selamat, dan hal itu menyiksa hidupnya dalam kepahitan.
Namun kemudian dia menemukan bahwa pasukan pendudukan Amerika bukan sebagai "setan," seperti propaganda perang telah diajarkan padanya. Sebaliknya, mereka menyediakan makanan, perlengkapan dan perawatan medis kepada warga.
Setelah menjadi pendeta, dia melanjutkan perjalanan misionaris di seluruh Jepang, mengajak orang-orang untuk bangkit dan hidup kembali, serta mengenalkan Yesus Kristus. Dia mengatakan bahwa ketika melihat masa lalu, dia melihat tangan Tuhan bekerja dalam hidupnya, katanya.
"Mungkin dalam beberapa cara yang aneh yang saya tidak mengerti, Tuhan telah menyelamatkan hidup saya, sepertinya Dia punya rencana untuk hidup saya," kata dia.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...