Antara Marah atau Ramah: Menilik Gaya Kepemimpinan Ala Risma
SATUHARAPAN.COM - Kemarahan Menteri Sosial Tri Rismaharini pada acara rapat tertutup di Gorontalo menjadi viral. Polemik terjadi karena ada yang menganggap bahwa kemarahan itu tidak sepatutnya dilakukan, namun sebagain menyebutkan bahwa kemarahan itu beralasan. Kemarahan Risma disebabkan karena ketidaksesuaian data di acara rapat tertutup. Kemarahan itu dipicu oleh ketidak sesuain data antara data yang ada dan yang disampaikan. Adanya perbedaan laporan antara Program Keluarga Harapan (PKH) setempat dengan data yang disampaikan pejabat Kemensos. Data itu terkait dicoretnya Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) karena saldo rekeningnya 0 rupiah.
Pejabat Kemensos yang hadir dalam rapat saat itu memaparkan bahwa pihak Kemensos tidak pernah mencoret data KPM PKH. Sontak Bu Risma kemudian memarahi petugas PKH Gorontalo yang kebetulan ikut dalam rapat. "Jadi bukan kita coret, ya! Kamu tak tembak, ya, tak tembak kamu!" ujar Risma sambil berdiri dari kursinya, berjalan mendatangi petugas PKH. Dia lalu mengarahkan pulpennya ke dada petugas itu. Saat Risma mengucapkan 'tak tembak kamu', peserta rapat mengira Mensos sedang bercanda dan mereka sempat tertawa. Bahkan ada yang bercanda,"dor!"
Sebagai orang yang pernah tinggal di Surabaya selama 12 tahun, saya sangat mengenal dan memahami gaya kepemimpinan Bu Risma. Kerja kerasnya untuk turun langsung ke lapangan untuk memastikan pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik oleh jajarannya adalah cara khasnya. Gaya dan ekspresinya yang spontan mencirikan watak khas orang Jawa Timur yang spontan dan gaya Suroboyoan yang heroik dan tanpa basa basi. Gaya ini sudah melekat kuat dalam diri Risma sejak menjadi Walikota Surabaya dalam 2 (dua) periode kepemimpinannya, model blusukan sudah menjadi gaya Risma dimanapun berada.
Identifikasi Kemarahan
Bagaimana mengidentifikasi marahnya Risma, apakah ini karakter dasar? Apakah ini drama politik?. Ataukah ini ekspresi spontan karena menemukan hal yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Secara psikologis, marah itu boleh dan itu perlu, untuk mengekspresikan sesuatu yang salah atau kekecewaan. Tipe kepribadian manusia bermacam-macam. Ada yang mengekspresikan kemarahan dengan luapan kata-kata verbal yang menusuk dan tajam. Namun ada juga yang marah yang diam justru membuat yang dimarahi tidak mengerti tidak tahu. Yang terpenting dalam mengekspresikan kemarahan adalah menggunakan bahasa yang cocok, dan tentunya disesuaikan dengan dan kepada siapa kemarahan itu disampikan.
Viralnya kemarahan Risma, nampaknya juga terjadi karena informasi viral itu dilepaskan dari konteksnya. Seolah yang terlihat hanya kemarahan semata, konteks secara keseluruhan dihilangkan. Cap stempel yang mengatakan gaya kepemimpinan marah-marah selalu menjadi trade mark Risma justru yang jadi berita viral. Namun viralnya kemarahan Risma itu justru menenggelamkan dan menghilangkan esensi apa yang menjadi konteks kemarahannya.
Kita ketahui bersama bahwa sebelum Bu Risma menjadi Menteri Sosial, masyarakat dibuat marah karena korupsi terjadi di Kementrian Sosial terkait bansos (bantuan sosial). Saat itu citra pemerintahan Jokowi pasca korupsi di Kementrian Sosial menjadi beban masa lalu, yang ada dipundak di Bu Risma untuk dipulihkan dan diangkat citranya kembali. Jika ditilik dari sejarahnya, maka kemarahan Risma adalah kemarahan yang substansial untuk melahirkan gebrakan dari rutinitas kerja di kementrian sosial yang diharuskan untuk melakukan validasi data bansos. Marahnya Risma juga merupakan upaya untuk melakukan shock terapy supaya kemandegan rutinitas di birokrasi tidak berlanjut. Menjadi pertanyaan besar bagaimana efektifitas kemarahan tersebut apakah akan membawa hasilnya atau efek dari kemarahan itu disampaikan serta dampaknya kepada kinerja pemerintahan, khususnya di Kementrian Sosial.
Menampilkan Keramahan
Apakah kemarahan juga menyelesaikan secara tuntas dan solusi secara efektif dari karut marutnya data bansos? Sebagai masyarakat yang cerdas dan ramah, maka jangan pernah melepaskan kemarahan dari konteksnya. Natur seorang pemimpin selalu ingin memastikan bahwa instruksinya diikuti oleh bawahannya akan tetapi peran seorang pemimpin juga menjadi role model bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin juga harus melakukan upaya-upaya sistematis mengembangkan kapasitas bawahanya dengan menstimulasi secara intelektual melalui pelatihan-pelatihan, coaching dan mentoring yang intens. Pemimpin juga harus menyediakan waktu untuk memberikan motivasi inspirasional bahkan memperhatikan bawahnnya bukan sebagai obyek mencapai hasil dan kinerja yang lebih baik, akan tetapi sebagai subyek yang perlu dimanusiakan sebagai pribadi yang berharga dan bernilai.
Pemimpin pasti akan selalu menemukan birokrasi dibawahnya yang bertele-tele, kinerja yang melempem seperti kerupuk diterpa angin, atau kurangnya pengetahuan, keterampilan. Realitas itu tak bisa diabaikan oleh pemimpin. Pada akhirnya yang patut kita tunggu adalah tindak lanjut kemarahan, adalah apakah koreksi dan pembetulan data bansos yang akhirnya pada hasil yang sesuai. Kemarahan adalah suatu punishment dan harusnya membawa perubahan. Apakah gaya kemarahan Bu Risma ini akan diteruskan? Ataukah sebaliknya kita akan melihat wajah yang lebih ramah dari Bu Risma dalam hal memimpin? Yang bisa menjawab adalah Bu Risma sendiri. Jika kita percaya bahwa pemimpin itu tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dilatih. Maka kita yakin bahwa kemarahan Risma kelak akan berubah menjadi keramahan Risma. Semoga.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...