Anwar Nasution Lontarkan Kritik Pedas kepada Jokowi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, melontarkan kritik pedas kepada Presiden Joko Widodo, yang menyebut kabinetnya tidak kompeten dalam menghadapi persoalan ekonomi negara dan melanjutkan kebijakan keliru yang dibuat oleh presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono.
Kritik sangat pedas yang ia lontarkan melalui harian The Jakarta Post pada 20 Agustus 2015, tergolong mengejutkan karena Anwar Nasution, guru besar Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia itu dikenal sebagai pendukung Jokowi pada Pilpres tahun lalu. Ia bahkan dengan terang-terangan menyebut langkah Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mencalonkan Jokowi-JK sebagai langkah brilian.
"Selamat kepada Ibu Mega. Karena beliau membuat keputusan brilian untuk mencalonkan mereka berdua (Jokowi-JK)," katanya, kala itu, yang menyejajarkan keputusan itu dengan langkah Sonia Gandhi, pemimpin Bharatiya Janata Party (BJP) India yang menunjuk Dr Manmohan Singh menjadi Perdana Menteri India pada 2004.
Dalam tulisan yang kemudian dilansir oleh berbagai media internasional itu, Anwar Nasution antara lain menulis, bahwa, "Ekonomi memburuk karena pemerintah tidak kompeten merespon tiga guncangan eksternal negatif saat ini."
Oleh karena ketidakkompetenan itu, ia mengkhawatirkan Indonesia akan terperangkap di level ekonomi menengah bawah bila tingkat pertumbuhan terus menurun pada tingkat seperti dewasa ini.
Menurut dia, ada tiga guncangan yang belum berhasil diatasi oleh pemerintah.
Pertama, booming komoditas primer yang sudah usai, yang menyebabkan permintaan dan harga komoditas ekspor turun.
Kedua, kemungkinan kenaikan suku bunga di AS yang bisa membalikkan arus masuk modal jangka pendek. Karena investor portofolio asing menyerap sebagian besar obligasi pemerintah dan sertifikat SBI Bank Indonesia, pengetatan moneter AS akan menaikkan biaya bunga dari pinjaman luar negeri.
Menurut dia, ketidakstabilan mata uang internasional akan mempengaruhi perdagangan dan arus modal.
Guncangan ketiga adalah kekeringan panjang yang secara serius menurunkan produksi pertanian. Akibatnya, Indonesia perlu mengimpor pangan tahun ini dan tahun berikutnya.
"Jokowi belum dengan benar menanggapi kesulitan-kesulitan ekonomi dan terus mengadopsi kebijakan yang menyimpang yang diwarisi dari pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kebijakan-kebijakan terdistorsi itu mencakup struktur kebijakan pengeluaran pemerintah, perdagangan dan investasi. Jokowi telah sering keluar negeri untuk merayu investor asing. Tapi dia belum membuat keputusan tentang bagaimana untuk merestrukturisasi sektor perekonomian riil termasuk tentang cara meningkatkan sistem perizinan, tingkat investasi dan iklim usaha," tulis dia.
Lebih jauh, Anwar Nasution juga mengeritik komposisi kabinet Jokowi, yang menurutnya terdiri dari politisi dan akademisi kelas dua. Integritas dan kemampuan intelektual mereka, menurut dia, sangat rendah, hanya beberapa saja yang dapat dikecualikan.
"Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dalam bidang ekonomi, mereka mendapat gelar doktor kehormatan atau bahkan gelar profesor di bidang ekonomi dari universitas yang dipertanyakan," kata dia.
"Mereka belajar ekonomi sebagai pengusaha di pasar yang sangat dilindungi, atau pemasok untuk sektor publik atau dealer mobil buatan luar negeri dan produk impor lainnya. Tak satu pun dari mereka telah melakukan penetrasi pasar internasional melalui ekspor," tulisnya lagi.
Reshuffle kabinet yang diumumkan pada 12 Agustus lalu, menurut dia, juga tidak banyak membantu, bahkan gagal meningkatkan kepercayaan publik dalam pemerintahan. "Seperti di kabinet sebelumnya, presiden Jokowi gagal mencalonkan ahli makro ekonomi yang baik di pemerintahan maupun di bank sentral," tutur dia.
Akibatnya, lanjut dia, banyak kebijakan yang tidak kredibel. Ia mencontohkan langkah BI baru-baru ini yang mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan rupiah untuk transaksi domestik. "Peraturan ini adalah jenis kontrol modal lunak untuk mengurangi permintaan valuta asing," kata dia.
Kebijakan ini, lanjut dia, tidak akan bekerja karena, secara tradisional, orang Indonesia tidak percaya pada rupiah sebagai penyimpan nilai. Hal ini terjadi karena sejarah panjang instabilitas sosial dan ekonomi, maupun sistem hukum yang buruk yang tidak mampu melindungi hak kekayaan individu. Juga faktor-faktor lain seperti inflasi maupun pengalaman di masa krisis, termasuk sejarah kelam pengusiran orang-orang Belanda dan Tionghoa dari Indonesia.
"Kurangnya kepercayaan dalam rupiah juga diakibatkan kurangnya integritas dan kemampuan teknis dalam kepemimpinan bank sentral," kata dia.
Karena alasan ini, Anwar Nasution mengatakan, orang-orang kaya memarkir uang mereka dalam lingkungan yang secara sosial dan ekonomi stabil, yang memiliki sistem hukum yang sangat baik, seperti Singapura, yang terletak tepat di tengah-tengah kepulauan Indonesia.
Dalam tulisannya tersebut, Anwar Nasution juga mengingatkan tentang bahaya melonjaknya utang luar negeri yang pada gilirannya dapat mengancam kesehatan perbankan.
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...