Apa Dampaknya Lebih Banyak Kakek-Nenek Dibandingkan Cucu?
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah orang tua berusia 65 tahun ke atas di dunia, lebih banyak daripada jumlah balita pada tahun 2018.
Saat ini terdapat sekitar 705 juta penduduk berusia di atas 65 tahun di dunia, sementara yang berumur antara nol hingga empat tahun berjumlah 680 juta.
Kesenjangan yang Melebar
Perbedaan jumlah kedua kelompok usia ini makin melebar, dan pada tahun 2050, diperkirakan akan ada dua manula untuk setiap satu balita.
Jurang yang melebar ini, mencerminkan kecenderungan yang telah diamati oleh para ahli demografi selama beberapa dekade, bahwa di kebanyakan negara, manusia hidup lebih lama dan semakin sedikit melahirkan bayi.
Namun bagaimana kecenderungan ini akan mempengaruhi hidup kita? Atau jangan-jangan sudah terjadi?
Kakek Nenek Lebih Banyak daripada Jumlah Cucu-Cucu
Direktur Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington, Christopher Murray, mengatakan kepada BBC, "Di masa mendatang hanya akan ada sedikit anak-anak dan banyak manula, dan ini akan sangat sulit untuk mempertahankan masyarakat global.”
Murray juga menulis sebuah makalah pada tahun 2018, yang menyatakan bahwa lebih dari separuh negara-negara di dunia menghadapi "baby bust", yang artinya tidak terdapat jumlah anak-anak untuk mempertahankan jumlah populasi.
"Coba pikirkan dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat, di mana jumlah kakek-nenek lebih banyak daripada jumlah cucu-cucu," katanya, dilansir bbc.com pada Minggu (7/4).
Pada tahun 1960, tingkat kesuburan dunia nyaris mencapai lima anak per perempuan, menurut Bank Dunia.
Hampir 60 tahun kemudian, angka itu menurun ke 2,4 anak per perempuan.
Di saat yang sama, kemajuan sosial ekonomi telah mengubah rata-rata usia harapan hidup. Di tahun 1960, rata-rata usia harapan hidup adalah 52 tahun, sedangkan di tahun 2017 menjadi 72 tahun.
Ini berarti, orang hidup lebih lama dan membutuhkan lebih banyak sumber daya seiring dengan penuaan. Tekanan pun terjadi pada pensiun dan sistem pelayanan kesehatan.
Populasi Orang Tua
Masalah populasi yang menua lebih besar di negara-negara maju. Mereka cenderung memiliki angka kelahiran lebih rendah karena sejumlah alasan, terutama berkaitan dengan kemakmuran ekonomi.
Angka kematian anak rendah, alat kontrasepsi mudah didapatkan, dan membesarkan anak biayanya mahal.
Di negara-negara ini, perempuan kerap punya anak di usia yang lebih tua, maka jumlah anak mereka secara keseluruhan juga lebih sedikit.
Standar yang lebih baik berarti orang bisa hidup lebih lama di negara-negara ini.
Contoh terbaiknya adalah Jepang, di mana usia harapan hidup bisa mencapai 84 tahun. Angka ini merupakan yang tertinggi di dunia. Jumlah manula di Jepang juga mencapai 27 persen dari total populasi di tahun 2018. Ini juga merupakan yang tertinggi di dunia.
Jumlah balita di Jepang? Sekitar 3,85 persen menurut PBB.
Tantangan ganda ini membuat pihak berwenang di Jepang khawatir, dan tahun lalu pemerintah mengumumkan peningkatan usia pensiun dari 65 ke 70 tahun.
Kalau memang ini akan diterapkan, usia pensiun di Jepang akan menjadi yang tertua di dunia.
Namun populasi yang timpang ini juga mengancam negara berkembang.
Cina dengan jumlah 10,6 persendari populasi, memiliki jumlah manula lebih rendah daripada Jepang, tapi berkat program keluarga berencana yang ketat diterapkan sejak 1970-an, jumlah kelahiran anak negeri itu juga rendah, yaitu 1,6 anak per tahun.
Jumlah balita di Cina kurang dari 6 persen dari total populasi.
Jumlah Anak Versus Kualitas Hidup
Negara-negara Afrika, merupakan contoh terbaik dilema antara kuantitas versus kualitas dalam soal angka kelahiran, karena dominasi mereka dalam hal jumlah kelahiran.
Contohnya Niger yang merupakan "negara paling subur di dunia" dengan jumlah rata-rata kelahiran 7,2 per perempuan pada tahun 2017. Namun Niger juga memiliki angka kematian anak tertinggi yaitu 85 per seribu kelahiran. Ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Tingkat Penggantian
Angka 2,1 adalah angka ajaib untuk populasi, karena menurut ahli demografi, itulah tingkat kesuburan yang dibutuhkan oleh satu populasi untuk bisa mengganti dirinya sendiri.
Namun menurut data PBB, hanya 113 negara-negara di dunia yang punya tingkat prokreasi mencapai angka tesebut.
Para peneliti juga menunjukkan, bahwa negara-negara dengan tingkat kematian anak tinggi, dan usia harapan hidup yang rendah membutuhkan tingkat kesuburan 2,3. Angka ini bisa dicapai oleh 99 negara.
Karena kelahiran yang menyusut, populasi di banyak negara juga menyusut, sekalipun keseluruhan populasi global meningkat. Pada tahun 2024, jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai delapan miliar.
Salah satu kasus ekstrim adalah Rusia di mana tingkat kesuburan adalah 1,75 per perempuan, dan ini diperkirakan akan menyumbang pada penurunan jumlah populasi Rusia dalam beberapa dekade ke depan.
Divisi Kependudukan PBB menghitung bahwa populasi Rusia akan turun dari jumlahnya sekarang yaitu 143 juta jiwa, menjadi 132 juta pada tahun 2050.
Dampak Ekonomi
Penuaan dan menurunnya populasi berarti berkurangnya jumlah tenaga kerja, yang pada gilirannya mengarah pada penurunan produktivitas ekonomi dan menekan pertumbuhan.
Bulan November lalu, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan Jepang bahwa ekonomi mereka bisa menyusut 25 persen dalam 40 tahun ke depan karena penuaan populasi.
"Dampak demografi ada pada setiap aspek hidup kita. Ini semua didorong oleh demografi," kata George Leeson, Direktur Oxford Institute of Population Ageing kepada BBC.
Apakah teknologi bisa memitigasi dampak ekonomi dari populasi yang menua?
Kebijakan dan Politik
Ada kesepakatan bahwa pemerintah perlu bertindak untuk mengatasi masalah bom waktu penuaan. Pemerintah di banyak negara memang sedang mencoba.
China meninjau ulang kebijakan satu anak mereka pada tahun 2015. Di tahun 2018 mereka memberi tanda-tanda akan mencabut larangan melahirkan.
Melonggarkan kelahiran bukanlah obat mujarab: pada tahun 2018 Cina mencatat angka kelahiran terkecil selama 60 tahun terakhir.
Para akademisi di Cina mengaitkan hal ini dengan menurunnya populasi perempuan usia subur, serta pada keluarga yang enggan punya anak lantaran alasan keuangan khususnya pada keluarga-keluarga yang dibentuk oleh perempuan berpendidikan yang segan menjalani peran tradisional perempuan.
Lebih Tua dan Lebih Kuat
Para ahli kependudukan mengingatkan, bahwa kebijakan untuk mempromosikan kesehatan orang tua memainkan peran penting dalam memitigasi dampak penuaan populasi.
Menurut pendapat ini, semakin sehat seseorang, semakin mampu mereka bekerja lebih lama, yang bisa membawa pada penurunan biaya perawatan kesehatan.
Satu area yang luput adalah semakin beragamnya tenaga kerja, terutama secara gender. Data dari International Labour Organization (ILO) memperlihatkan, bahwa tingkat partisipasi perempuan di pasar kerja global adalah 48,5 persen di tahun 2018. Tingkat ini 25 persen lebih rendah daripada partisipasi laki-laki di pasar kerja.
"Lebih banyak perempuan bekerja tak hanya membuat ekonomi menjadi lebih kuat menghadapi guncangan. Banyaknya perempuan di pasar kerja juga merupakan perangkat anti kemiskinan," kata Ekkehard Ernst, ahli ekonomi ILO.
Editor : Melki Pangaribuan
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...