Apa Kabar?
Jawaban yang paling sering diberikan untuk pertanyaan ”Apa kabar?” adalah ”Baik-baik.”; ”Puji Tuhan, baik.”; atau ”Alhamdulillah, baik.” Titik. Lantas obrolan berlanjut, melompat ke topik lain.
SATUHARAPAN.COM – ”Apa kabar?” Itulah kalimat yang kerap kita dengar dan kita ucapkan manakala bertemu dengan teman atau keluarga yang jarang bertemu. Jawaban yang paling sering diberikan untuk pertanyaan ”Apa kabar?” adalah ”Baik-baik.”; ”Puji Tuhan, baik.”; atau ”Alhamdulillah, baik.” Titik. Lantas obrolan berlanjut, melompat ke topik lain.
Kalau seperti itu yang terjadi, apa artinya bertanya: ”Apa kabar?”. Kalimat mau tahu itu hanyalah cuap-cuap tanpa arti. Semestinya pertanyaan ”Apa kabar?” berlandaskan rasa peduli setulus hati. Tak cukup basa-basi, kita harus benar-benar bersimpati bahkan berempati.
Sebab sesungguhnya, tak melulu kabar baik yang akan kita terima. Memang lebih mudah bagi kita untuk merespons kabar yang menggembirakan. Namun, bagaimana sikap kita jika mendengar kabar buruk? Dapatkah kita menjadi pendengar setia, menjadi tempat curahan hati dan menjadi penghibur?
Saya dan beberapa rekan mengabdikan diri untuk bekerja pada sebuah yayasan sosial. Yayasan Tittari Surakarta, sebuah yayasan yang fokus pada pendampingan pasien penyakit Lupus (Odapus) dan keluarganya. Sebagai pengurus, kami harus rajin memantau kondisi teman-teman Odapus. Pantauan tersebut tentu saja diawali dengan pertanyaan ”Apa kabar?”
Kami akan ikut bangga dan berbahagia jika mendapat kabar baik dari teman-teman Odapus seperti: kabar sehat, dosis obat dapat diturunkan, kondisi stabil, bahkan mampu produktif layaknya orang normal. Tetapi, kami juga kerap menerima kabar tak menyenangkan: kabar Odapus yang harus opname, kabar Odapus yang dikucilkan masyarakat, kabar Odapus yang tak mampu berobat karena kesulitan biaya bahkan juga kabar meninggalnya teman Odapus akibat kondisi memburuk.
Kami harus menanggung konsekuensi dari pertanyaan dan jawaban yang diberikan. Bila kabarnya baik, maka kami akan memberi apresiasi positif dan menambah semangat untuk Odapus tersebut. Bila kabarnya sedih, kami harus bertindak tepat sesuai kebutuhan Odapus: visit pasien di rumah sakit, menggelar sosialisasi kepada masyarakat luas tentang penyakit Lupus, menyebar proposal bantuan dana bagi Odapus kurang mampu, dan datang melayat Odapus yang berpulang serta menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Porsi empati yang sama harus kita berikan, terutama kepada mereka yang tengah dirundung kabar tak menyenangkan. Atur posisi kita bukan sekadar sebagai penanya, tetapi juga sebagai penggugah semangat, agar kabar tak baik yang tengah dialami sesama dapat diputarbalikkan menjadi kabar baik. Sensasi membawa kabar baik, menurut pengalaman saya di Yayasan Tittari, sangat menenteramkan hati. Kabar baik tidak hanya tersampaikan kepada sesama yang membutuhkan, tetapi kabar baik itu akan menjadi bagian dari diri kita.
Coba saja!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...