Apresiasi bagi Yang Memilih Independen Bersama Rakyat
SATUHARAPAN.COM - Awal pekan ini, partai politik peserta pemilu 2014 telah mengajukan nama-nama yang dicalonkan sebagai anggota legislatif melalui pemilu. Ada 6.576 nama yang diajukan (2.434 perempuan dan 4.142 pria). Dan menjadi kebiasaan bahwa partai mengajukan daftar caleg pada hari-hari akhir penutupan pendaftaran. Padahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membuka pintu pendaftaran sejak Selasa (9/4).
Situasi ini ditandai oleh kesibukan partai politik mencari orang-orang yang bersedia dicalonkan, terutama mereka yang dinilai sebagai "sumber popularitas" dan "sumber uang". Bahkan menjelang hari akhir pendaftaran, masih ada partai yang sibuk merayu bakal caleg, khususnya untuk memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan.
Fenomena ini menandai keprihatinan dalam budaya partai politik, karena menandakan lemahnya kaderisasi. Orang-orang yang berada di luar partai mendadak masuk partai dan bahkan diberi tugas mengemban mandat penting partai di parlemen. Hal itu terjadi nyaris tanpa proses internalisasi visi dan perjuangan partai.
Kalangan partai mungkin akan menolak anggapan tersebut, karena segera setelah ini akan ada rapat-rapat konsolidasi yang diisi dengan pengaraha dari pimpinan partai. Hal itu umumnya dianggap sebagai proses internalisasi atas budaya, visi dan perjuangan partai.
Jadi, jika selama ini kinerja parlemen dikritik keras adalah konsekuensi yang wajar. Kader dadakan akan membutuhkan waktu lama untuk belajar menjadi legislator. Bahkan mungkin menghabiskan lebih banyak waktu untuk itu selama lima tahun masa tugas mereka, serta disibukkan oleh aktivitas untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama pencalonan dan kampanye.
Di sisi lain, parpol juga gigih merekrut pengusaha, akademisi, artis, bahkan agamawan. Menjejerkan figur-figur ini dalam deretan daftar caleg diharapkan mengangkat daya tarik partai untuk dipilih. Padahal, tampilnya figur yang populer di publik, termasuk artis, selama ini tidak mempunyai korelasi yang kuat dengan elektabilitas partai maupun figur itu. Partai Amanat Nasional (PAN) yang pernah bergelimang artis, justru menghadapi kenyataan perolehan suaranya tak sebaik Pemilu 1999.
Panggung politik di Indonesia, memang mirip panggung bagi para artis. Penampilan yang serba dipoles, glamor dan agak "adiktif" mewarnai panggung seperti itu. Maka tidak mengherankan jika ada "kimia" yang mirip atau sama dari aktor di kedua panggung ini. Dan sangat dikhawatirkan bahwa panggung seperti itu juga menarik bagi akademisi, pengusaha, jurnalis, pegiat lembaga swadaya masyarakat, bahkan agamawan, karena kemiripan "kimia."
Kebiasaan ini bisa menjadi proses yang melemahkan kehidupan bangsa. Karena yang dikembangkan adalah "budaya panggung" yang jauh dari realita. Kita pantas khawatir bahwa kampus akan makin kehilangan pengajar dan peneliti yang independen, jurnalis yang setia pada pembaca, dan pegiat LSM yang fokus pada pembangunan komunitas.
Kaum pengusaha yang juga bergabung dalam politik juga memberi peluang munculnya perilaku dan pembentukan "persekutuan jahat" antara politik dan bisnis pribadi. Hal ini sudah menjadi perbincangan setiap hari berkaitan kasus korupsi yang banyak melibatkan pengusaha, politisi, pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kalangan agamawan yang "tergiur" panggung politik daripada "mimbar" di rumah ibadah, mungkin saja akan mendorong politik sektarian yang semakin kuat. Kompetisi yang ketat dan kebutuhan tampil secara instan bisa mendorong kampanye yang lebh "emosional" ketimbang "rasional."
Panggung politik dan jabatan wakil rakyat di parlemen memang terbuka bagi siapa saja dan berbagai latar belakang. Namun dalam kehidupan bernegara dan berbangsa kita membutuhkan oposisi yang sehat yang berada di luar pemerintahan. Sama pentingnya demgan oposisi di parlemen yang mengawasi pemerintah. Tujuannya agar pengawasan dan keseimbangan terjaga dan terlaksana.
Situasi kita sekarang diwarnai oleh kinerja parlemen dan pemerintah yang jauh dari harapan rakyat. Bahkan kita terpuruk oleh korupsi, pelanggaran hukum, dan skandal moral dan etika. Maka bangsa ini membutuhkan pengusaha yang terus tekun membangun ekonomi, seniman yang independen dan terus bekerja untuk mewarnai keindahan kehidupan, pewarta yang fokus pada berita yang independen bagi publik, akademisi yang setia bersama mahasiswa dan berada di laboratorium penelitian, pegiat LSM yang setia dengan rakyat yang terlupakan, dan agamawan yang setia membangun spiritual rakyat.
Mereka adalah figur-figur yang memilih tetap independen dan menjadi kekuatan masyarakat sipil. Sangat mungkin mereka selama ini dirayu habis-habisan, namun tidak goyah dari pendiriannya. Mereka adalah kekuatan masyarakat sipil yang setia menjadi "anjing penjaga." Mereka memilih panggung yang lain.
Di tengah-tengah orang sibuk membawakan diri sebagai bakal caleg, sepantasnya kita memberi apresiasi bagi mereka yang memilih arena tanpa panggung dalam masyaraklat sipil bersama rakyat. Jangan lupa, mereka bisa jadi lebih pantas sebagai wakil rakyat yang sebenarnya.
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...