Arab Barometer: Dunia Arab Semakin Sekuler
SATUHARAPAN.COM - Sebagian besar wilayah Arab semakin sekuler menurut laporan Arab Barometer, Kamis (2/11). Berdasarkan data survei Arab Barometer mereka yang mendukung kelompok Islam setelah pergolakan musim semi Arab pada 2011 semakin kecewa dengan penampilan kelompok Islam dan berubah pikiran.
Arab Barometer melakukan survei sosial multi-negara yang dirancang untuk menilai sikap warga tentang urusan publik, pemerintahan, dan kebijakan sosial di Dunia Arab, dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk sikap dan nilai masyarakat. Arab Barometer didirikan pada tahun 2005 oleh para ilmuwan di dunia Arab dan Amerika Serikat.
Dari hasil survei terbaru disimpulkan bahwa di Mesir dukungan penerapan syariah Islam menjadi 34 persen pada 2016 dari 84 persen di 2011. Orang-orang Mesir juga tidak lagi banyak sembahyang. Di tempat-tempat seperti Libanon dan Maroko hanya separuh dari jumlah umat Islam yang mendengarkan bacaan Quran hari ini dibandingkan 2011. Kesetaraan gender di bidang pendidikan dan tempat kerja kini diterima secara luas. "Masyarakat mendorong perubahan," kata Kepala Barometer, Michael Robbins.
Pemimpin Arab menyesuaikan kebijakan mereka sesuai dengan semangat zaman. Sebagian bertindak karena kepentingan politik pribadi. Penguasa daerah tersebut pernah mencoba mengkooptasi kelompok Islam. Sekarang menganggapnya sebagai ancaman terbesar pemerintahan. Banyak pemimpin Arab tampak benar-benar tertarik untuk membentuk masyarakat yang lebih sekuler dan toleran. Bahkan jika reformasi mereka tidak berlanjut ke ranah politik.
Uni Emirat Arab telah memimpin jalan pembatasan agama dan sosial secara perlahan. Putera mahkota Abu Dhabi dan pemimpin de facto Uni Emirat Arab, Muhammad bin Zayed, memimpin kampanye regional melawan gerakan Islam. Dia telah membiayai pembangunan cabang universitas dan galeri seni Barat. Dia mendorong perempuan muda keluar dari pengasingannya di rumah dan memasuki dinas militer, termasuk putrinya sendiri. Tentara perempuan sering jalan-jalan dengan berseragam.
Berbeda dengan pemimpin nasionalis pasca kemerdekaan di kawasan ini yang membersihkan masyarakat mereka dari orang-orang Armenia, Yunani, Italia dan Yahudi. Kini mereka telah memeluk keberagaman walaupun pembatasan ketat terhadap kewarganegaraan tetap ada.
Presiden Mesir Abdel Fattah al Sisi tidak hanya melarang Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam terkemuka di kawasan ini. Dia mengecam al Azhar, tempat belajar tertua di dunia Muslim, karena intoleransi. Dia telah menutup ribuan masjid dan mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh mengorbankan domba di rumah mereka selama perayaan keagamaan tanpa izin. Burkini, pakaian renang yang menutupi tubuh perempuan untuk perempuan konservatif, telah dilarang di beberapa pantai. Dia menerabas pendahulunya. Al Sisi menghadiri misa Natal di katedral Koptik Kairo tiga tahun berturut-turut meski tidak tinggal lama. "Kami menjadi lebih Eropa," jelas seorang pejabat Mesir.
Di selatan Kairo, para perempuan tidak berjilbab duduk-duduk di kafe-kafe jalanan. Mereka menghisap sisha yang secara tradisi merupakan kebiasaan laki-laki. Beberapa tempat menyediakan alkohol yang dilarang Islam.
Perubahan baru telah lahir di Arab Saudi yang sangat konservatif. Putera mahkota muda, Muhammad bin Salman, telah menahan polisi religius, memecat ribuan imam, dan menyensor teks-teks ekstremis. Perempuan segera diizinkan mengendarai mobil dan memasuki stadion olahraga. Mereka didorong untuk bekerja. Kini Pangeran Muhammad ingin menciptakan kota baru, Neom, meniru Dubai. Video promosinya menunjukkan wanita tidak berjilbab berpesta dengan laki-laki. "Kami hanya kembali kepada apa yang kami dulu, memoderasi Islam, terbuka kepada dunia dan semua agama," katanya kepada investor asing pada bulan Oktober.
Perubahan ke arah moderat ini terjadi di mana-mana. Di negara-negara dengan pemerintahan yang kurang dinamis, jajak pendapat menunjukkan dukungan syariah dan simpati terhadap gerakan Islam tinggi. Seperti di Aljazair, Yordania dan Palestina. Tetapi kaum sekuler bisa ditemukan di tempat yang paling konservatif sekalipun.
Setelah terbebas dari cengkeraman jihadis ISIS, warga Mosul di Irak, berkumpul di kafe yang tumbuh di sekitar universitas yang rusak di kota itu. Banyak yang mengaku ateis. Bagian seni rupa dibuka kembali setelah ditutup ISIS tiga tahun lalu.
Kesulitan ekonomi terlihat seperti memicu gerakan oposisi Islam. Tetapi juga mengikis pandangan tradisional mengenai peran perempuan di masyarakat. Di tengah melonjaknya inflasi dan pemotongan subsidi di banyak negara, gaji yang diterima jarang mencukupi sebuah keluarga. Suami mendorong istri mereka untuk bekerja. Anak perempuan meninggalkan rumah mereka di daerah pedesaan untuk belajar atau bekerja di kota. Petugas kesehatan mengatakan seks pranikah lebih sering terjadi, sebagian karena usia pernikahan meningkat dan banyak menyalahkan biaya hidup tinggi.
Para pemimpin Arab bertindak seperti pemimpin Turki awal abad ke-20, Kemal Ataturk. Menghapuskan pemerintahan khilafah, syariah, dan melarang pakaian tradisional, sambil mengkonsolidasikan kekuatannya sendiri. (economist.com)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...