Aroma Rempah dalam Secangkir Kopi Jo
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bagi penikmat kopi, terlebih kopi speacialty, bisa jadi rasa terbaik di lidah adalah saat kopi tidak bercampur tambahan lain termasuk gula. Dengan sangraian serta seduhan air dalam temperatur yang pas akan mengeluarkan aroma khas kopi jenis arabika, bahkan tanpa gula pun akan mengeluarkan rasa manis di lidah. Trend menikmati kopi specialty dalam lima tahun terakhir merebak di berbagai kota di Indonesia.
Meskipun Indonesia memiliki banyak jenis kopi arabika dengan kualitas bagus dan menjadi pilihan kopi terbaik dunia, budaya masyarakat dalam menyecap kopi justru lebih banyak jenis robusta. Harga kopi arabika yang relatif lebih mahal serta rasa asamnya yang cukup kuat dibanding jenis robusta bisa jadi menjadi pertimbangan. Di beberapa daerah, untuk menekan harga tidak jarang pengolahan kopi dicampur dengan beras ataupun jagung yang disangrai.
Bagi Johanes Johana Jaya pemilik Kopi Jo, kopi robusta memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Melalui eksperimen sejak tahun 2006 di tengah usaha pembuatan tas yang dijalaninya, Johanes membuat formula tambahan dengan memanfaatkan panenan kopi dari kebun keluarganya di Temanggung.
"Pilihan kopi robusta selain ketersediaannya yang melimpah, kebiasaan masyarakat kita sebagian besar mengkonsumsi jenis ini. Salah satu pertimbangan utama adalah lambung saya sensitif dengan kopi. Saya tidak bisa meminum kopi yang asam (jenis arabika)," kata Johanes kepada satuharapan.com saat ditemui di booth-nya di Taman Kuliner Condongcatur Sleman saat pembukaan Pasar Seni - Festival Kesenian Yogyakarta 28, Selasa (23/8) malam.
Dengan pertimbangan tersebut, Johanes menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan atas eksperimennya. Selagi kopi aman dikonsumsinya, kopi yang ditawarkan aman juga untuk konsumen yang memiliki lambung sensitif terhadap asam kopi.
Johanes menambahkan beberapa rempah dalam formula kopinya. Pemilihan jenis rempah diakui Johanes tidak mengurangi rasa dan aroma kopi. Pertama kali Johanes menjual Kopi Jo yang menjadi branding-nya saat Biennale Yogyakarta X dihelat pada tahun 2009.
"Saat itu saya tawarkan pada teman-teman perupa, ternyata sebagian besar menyukainya. Teman-teman bilang aroma rempahnya terasa namun rasa kopinya tetap dominan. Oleh Ong Hari Wahyu (perupa Yogyakarta) dikasih nama Kopi Jo," kata Johanes.
Setelah Biennale Yogyakarta X, Johanes mendapat tawaran di Pasar Kangen Yogyakarta di Taman Budaya Yogyakarta. Selain ramuan yang khas, beberapa keunikan dengan mudah dikenali dari Kopi Jo: display dari balok-papan kayu kuno serta cara pengolahannya.
Johanes mengolah Kopi Jo dalam kuali ukuran sedang di atas anglo arang. Penggunaan kuali dan kayu arang tidak semata-mata untuk sensasi. Perlu waktu 45 menit hingga 1 jam sejak pertama kali dimasak agar kopi siap dihidangkan. Pemilihan kuali dan bahan bakar kayu arang untuk menjaga cita rasa.
"Dengan menggunakan arang kayu, proses matang kopi yang diolah bisa lebih pas. Ini untuk menghindari rasa gosong kopi jika airnya terlalu cepat mendidih," Johanes menjelaskan. Penggunaan arang kayu dalam anglo dapat menjaga kehangatan kopi dalam waktu relatif lama. Ketika kopi yang sudah jadi terlihat mendekati titik didih, biasanya Johanes segera memindahkan kuali dari atas anglo.
Semenjak mengikuti Pasar Kangen Yogyakarta 2010, Johanes ditawari untuk secara reguler membuka Kopi Jo oleh Bentara Budaya Yogyakarta setiap Senin malam bersamaan dengan Jazz Mben Senen. Beberapa waktu lalu selama 2 hari Johanes membuka lapak Kopi Jo di area Festival Prambanan Jazz 2016.
Selain Kopi Jo, selama penyelenggaraan Pasar Seni-FKY 28 di Taman Kuliner Condongcatur Sleman dengan ramuan yang hampir sama Johanes menawarkan teh tarik dan teh rempah.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...