A(rt)GRI(eve)CULTURE: Bali Darurat Agraria
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Seniman-perupa muda asal Tabanan-Bali I Gede Oka Astawa menggelar pameran tunggal mempresentasikan sebelas karya lukisan di Studio Kalahan. Pameran bertajuk "A(rt)Gri(eve)culture" dibuka Sabtu (13/5) malam.
A(rt)Gri(eve)culture merupakan project Oka Astawa membaca fenomena yang dialami langsung dalam beberapa tahun terakhir. Setelah lulus dari jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta, Oka memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran dan menjadi petani mengerjakan beberapa petak sawah orang tuanya. Dengan menjadi petani Oka merasakan langsung bagaimana permasalahan yang dihadapi petani mulai saat menyiapkan lahan hingga saat harus memasarkan hasil panennya maupun ancaman konversi dan kepemilikan lahan pertanian oleh investor. Dengan mengalami langsung ada beberapa hal yang bisa didapatkan tanpa harus melepaskan kenyataan dirinya adalah seniman.
Dalam sebelas karyanya, pergulatan Oka Astawa atas permasalahan dunia pertanian di Bali bisa dilihat pada lukisan-lukisan berjudul "Bertahan", "Kering di Puncak Tropis", "Pagar Alam", "Terhimpit", "Kamuflase", ataupun "Tumbuh di Tanah Anarki/Grow in the Land of Anarchy" yang keseluruhan lukisan dibuat dalam medium cat akrilik di atas kanvas.
Permasalahan ekologi terkait tempat tumbuh, keanekaragaman hayati-biodiversity, hingga tradisi-budaya dimana hampir semua ritual di Bali berlandaskan alam dan pertanian menjadi ketertarikan dan keprihatinan Oka Astawa. Bulan Juni lalu dalam sebuah pameran seni rupa-instalasi bertajuk Oka Art project "A(rt)griculture", Oka memamerkan karya seni ekologinya di Kulidan kitchen and space, Gianyar-Bali.
Di sela-sela bertani, berbagai permasalahan dalam dunia pertanian dipindahkan Oka Astawa dalam karya seni ekologi dalam dua-tiga matra. Mengalami langsung menjadi petani sekaligus membangunkan kesadaran Oka bahwa sebagai sebuah mata pencaharian, petani juga harus berdaulat atas hasil pertaniannya secara bermartabat. Eksperimen yang dilakukan Oka adalah memasarkan sendiri hasil pertaniannya saat panen dan tidak diserahkan kepada tengkulak/pengepul atau mekanisme pasar yang ada. Memasarkan sendiri menjadi sebentuk perlawanan Oka sebagai petani pemilik hasil pertanian (beras) untuk menentukan harga jual yang layak.
Realitas yang terjadi hari ini dunia petani adalah anomali dimana petani tidak memiliki daya untuk menentukan harga jual produk pertanian. Harga jual di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh mata rantai distribusi yang lebih banyak dikuasai oleh tengkulak/pengepul. Dan hal itu sudah berlangsung cukup lama. Banyak faktor yang membuat petani tidak berdaya menentukan harga jual hasil pertaniannya salah satunya ketergantungan pada modal kerja. Praktik ijon, rentenir yang menjerat, keterbatasan lahan, hingga subsidi yang tidak tepat sasaran kerap membuat profesi petani terpuruk di tengah kenyataan mereka diperlukan sebagai tulang punggung ketahanan pangan.
Menjual sendiri hasil pertanian (beras) dengan membungkus dalam karung kemasan yang didesain dengan karya-karyanya Oka Astawa mendapat dua impact sekaligus: berdaya atas hasil pertanian yang dijalaninya sekaligus tetap berkesenian dalam keseharian aktivitas bertani yang dijalaninya.
Seni tidak hanya berhubungan dengan ekspresi personal semata, namun juga berhubungan dengan orang lain di luar seniman, yang melihat dan menikmati nilai seni yang disebut juga sebagai nilai estetika. Nilai estetika yang dimaksud adalah sebentuk nilai yang menjadikan sebuah wujud karya dapat menggugah rasa masyarakat luas sebagai penikmat, secara sederhana nilai itu adalah sebuah keindahan. Dengan mendesain kemasan untuk hasil pertaniannya, Oka Astawa bisa menyampaikan banyak pesan-pesan ekologi (yang diharapkan) berdampak.
Masyarakat Bali mengenal kesadaran Tri Hita Karana yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan lingkungan (pelemahan) dan hubungan manusia dengan Tuhan (pariangan), dimana kesejahteraan pada dirinya tidak bisa terlepas dari makro ekologi yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan kesadaran itu tercermin dalam bentuk penghormatan pada tumbuhan yang dirayakan secara simbolik enam bulan sekali dalam upacara Tumpek Uduh (pengatag).
Dalam "A(rt)Gri(eve)culture" Oka Astawa sedang memotret perjalan dunia pertanian di Bali di tengah kenyataan bahwa dunia pariwisata Bali pun tumbuh sangat pesat dan menjadi ancaman bagi dunia pertanian ketika harga tanah semakin melambung dan Bali dalam kodisi dilematis: Darurat Agraria.
Pameran seni rupa "A(rt)Gri(eve)culture" akan berlangsung hingga 21 September 2018 di Studio Kalahan Jalan Patukan 50 RT 1 RW 20, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...