Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 14:22 WIB | Rabu, 26 Februari 2025

AS Menolak Menyalahkan Rusia Atas Perang di Ukraina

AS berbeda pendapat dengan sekutu Eropa dalam pemungutan suara di PBB.
AS Menolak Menyalahkan Rusia Atas Perang di Ukraina
Mariana Betsa, Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina, menyampaikan pidato di hadapan Dewan Keamanan PBB, hari Senin, 24 Februari 2025, di markas besar PBB. (Foto-foto: AP/Richard Drew)
AS Menolak Menyalahkan Rusia Atas Perang di Ukraina
Duta Besar AS, Dorothy Camille Shea, memberikan suara di Dewan Keamanan PBB, Senin, 24 Februari 2025, di markas besar Perserikatan Bangsa-bangsa.

PBB, SATUHARAPAN.COM-Dalam perubahan dramatis mengenai hubungan transatlantik di bawah Presiden Donald Trump, Amerika Serikat berbeda pendapat dengan sekutu Eropanya dengan menolak menyalahkan Rusia atas invasinya ke Ukraina dalam pemungutan suara atas tiga resolusi PBB pada hari Senin (24/2) yang berupaya mengakhiri perang selama tiga tahun tersebut.

Perpecahan yang semakin besar ini menyusul keputusan Trump untuk membuka negosiasi langsung dengan Rusia untuk mengakhiri perang, yang membuat Ukraina dan para pendukungnya di Eropa kecewa dengan mengecualikan mereka dari pembicaraan pendahuluan pekan lalu.

Dalam Majelis Umum Perseikatan  Bangsa-bangsa (PBB), AS bergabung dengan Rusia dalam pemungutan suara menentang resolusi Ukraina yang didukung Eropa yang menyerukan agresi Moskow dan menuntut penarikan segera pasukan Rusia.

AS kemudian abstain dari pemungutan suara atas resolusinya sendiri yang bersaing setelah negara-negara Eropa, yang dipimpin oleh Prancis, berhasil mengubahnya untuk memperjelas bahwa Rusia adalah agresor. Pemungutan suara tersebut dilakukan pada peringatan tiga tahun invasi Rusia dan saat Trump menjamu Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di Washington.

Ini merupakan kemunduran besar bagi pemerintahan Trump di badan dunia beranggotakan 193 negara, yang resolusinya tidak mengikat secara hukum tetapi dipandang sebagai barometer opini dunia.

AS kemudian mendorong pemungutan suara atas rancangan aslinya di Dewan Keamanan PBB yang lebih kuat, di mana resolusinya mengikat secara hukum dan memiliki hak veto bersama dengan Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Pemungutan suara di dewan beranggotakan 15 negara itu menghasilkan 10-0 dengan lima negara Eropa abstain – Inggris, Prancis, Denmark, Yunani, dan Slovenia.

Resolusi yang saling bertentangan tersebut juga mencerminkan ketegangan yang muncul antara AS dan Ukraina. Dalam retorika yang meningkat, Trump telah menyebut Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, sebagai "diktator" karena tidak mengadakan pemilihan umum selama masa perang, ketika sebagian besar Ukraina berada di bawah pendudukan Rusia, tentaranya berada di garis depan, dan negara itu berada di bawah darurat militer.

Trump juga secara keliru menuduh Kiev memulai perang dan memperingatkan bahwa ia "lebih baik bergerak cepat" untuk menegosiasikan akhir konflik atau berisiko tidak memiliki negara untuk dipimpin. Zelenskyy menanggapi dengan mengatakan Trump hidup dalam "ruang disinformasi" buatan Rusia.

Dalam pusaran diplomasi, pertemuan Trump dengan Macron akan diikuti oleh kunjungan pada hari Kamis (27/2) dari Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, sekutu utama AS yang sejalan dengan Washington di Ukraina lebih dari sebulan yang lalu. Mereka sekarang berada di pihak yang berlawanan di jalur terbaik bagi PBB untuk menyerukan diakhirinya perang.

Majelis Umum memberikan suara 93-18 dengan 65 abstain untuk menyetujui resolusi Ukraina. Hasil tersebut menunjukkan beberapa dukungan yang berkurang untuk Ukraina, karena pemungutan suara majelis sebelumnya melihat lebih dari 140 negara mengutuk agresi Rusia dan menuntut penarikan segera.

Majelis kemudian beralih ke resolusi rancangan AS, yang mengakui "hilangnya nyawa secara tragis selama konflik Rusia-Ukraina" dan "memohon agar konflik segera diakhiri dan selanjutnya mendesak perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia," tetapi tidak pernah menyebutkan agresi Moskow.

Dalam sebuah langkah yang mengejutkan, Prancis mengusulkan tiga amandemen, yang menambahkan bahwa konflik tersebut merupakan hasil dari "invasi besar-besaran ke Ukraina oleh Federasi Rusia." Amandemen tersebut menegaskan kembali komitmen majelis terhadap kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas teritorial Ukraina, dan menyerukan perdamaian yang menghormati Piagam PBB.

Rusia mengusulkan amandemen yang menyerukan agar "akar penyebab" konflik ditangani.

Semua amandemen disetujui dan resolusi tersebut disahkan dengan perolehan suara 93-8 dengan 73 abstain, dengan Ukraina memberikan suara "ya", AS abstain, dan Rusia memberikan suara "tidak".

Kedua resolusi majelis tersebut didukung oleh sekutu AS di Asia, termasuk Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, negara-negara tetangganya Kanada dan Meksiko, serta negara-negara Eropa, kecuali Hongaria.

Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina, Mariana Betsa, mengatakan negaranya menjalankan "hak bawaan untuk membela diri" setelah invasi Rusia, yang melanggar persyaratan Piagam PBB yang mengharuskan negara-negara menghormati kedaulatan dan integritas teritorial negara lain.

"Saat kita memperingati tiga tahun kehancuran ini — invasi penuh Rusia terhadap Ukraina — kita menyerukan kepada semua negara untuk berdiri teguh dan memihak ... Piagam, pihak kemanusiaan, dan pihak perdamaian yang adil dan abadi, perdamaian melalui kekuatan," katanya.

Trump sering menyatakan komitmennya untuk membawa "perdamaian melalui kekuatan."

Duta Besar Inggris untuk PBB, Barbara Woodward, memperingatkan dewan, "Jika Rusia dibiarkan menang, kita akan hidup di dunia di mana kekuatan adalah kebenaran, di mana batas-batas dapat digambar ulang dengan paksa, di mana para agresor berpikir mereka dapat bertindak tanpa hukuman."

Wakil Menteri Luar Negeri Denmark, Lotte Machon, menekankan bahwa dalam perundingan perdamaian, “tidak ada yang namanya Ukraina tanpa Ukraina, tidak ada yang namanya keamanan Eropa tanpa Eropa.”

Sementara itu, Wakil Duta Besar AS, Dorothy Shea, mengatakan beberapa resolusi PBB sebelumnya para anggota yang mengutuk Rusia dan menuntut penarikan pasukan Rusia "telah gagal menghentikan perang," yang "kini telah berlangsung terlalu lama dan dengan biaya yang sangat besar bagi rakyat di Ukraina dan Rusia serta sekitarnya."

"Yang kita butuhkan adalah resolusi yang menandai komitmen dari semua negara anggota PBB untuk mengakhiri perang secara permanen," kata Shea sebelum pemungutan suara.

Di Dewan Keamanan, Rusia menggunakan hak vetonya untuk mencegah amandemen Eropa terhadap resolusi AS, yang secara hukum tidak jelas tetapi pada dasarnya tidak berdaya. Hanya paragraf operasionalnya "Mendesak agar konflik segera berakhir dan selanjutnya mendesak perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia."

Shea menyebutnya "langkah pertama, tetapi yang krusial," dengan mengatakan bahwa hal itu "menempatkan kita di jalan menuju perdamaian."

Majelis Umum telah menjadi badan PBB yang paling penting bagi Ukraina karena Dewan Keamanan telah dilumpuhkan oleh hak veto Rusia. Majelis telah menyetujui setengah lusin resolusi sejak pasukan Rusia menyerbu perbatasan pada 24 Februari 2022.

Resolusi Ukraina yang diadopsi pada hari Senin mengingatkan perlunya menerapkan resolusi-resolusi sebelumnya, dengan menekankan tuntutan agar Rusia "segera, sepenuhnya, dan tanpa syarat menarik semua pasukan militernya dari wilayah Ukraina."

Resolusi tersebut menegaskan kembali komitmen majelis terhadap kedaulatan Ukraina dan juga "bahwa tidak ada perolehan wilayah yang diakibatkan oleh ancaman atau penggunaan kekuatan yang akan diakui sebagai hal yang sah."

Resolusi tersebut menyerukan "de-eskalasi, penghentian permusuhan lebih awal, dan penyelesaian perang melawan Ukraina secara damai" dan menegaskan kembali "kebutuhan mendesak untuk mengakhiri perang tahun ini." (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home