Asia Tri 2016 Digelar Tiga Hari
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tujuh grup tari berturut-turut Lengger Lanang, Seeka Gong Rare Merdangga Giri Kusuma (Bali), Gerrard Mosterd (Belanda), Ayu Permata Dance (Yogyakarta), Shahrin Johry, Ranrangga Dance Academy (Sri Langka), dan Daya Presta (Jakarta) mengawali Festival Asia Tri Jogja 2016 di Pendhapa Art Space, Sewon-Bantul DI Yogyakarta Rabu (28/9) malam.
Setelah dua penari lengger laki-laki mementaskan tarian Lengger Lanang, Seeka Gong dari Bali menampilkan tiga komposisi koreografi yang ditarikan oleh anak-anak dan remaja dengan iringan gamelan secara live. Berturut-turut Seeka Gong memainkan komposisi tabuhan gamelan kreasi baru berjudu; Tabuh Pasubayan (kesepakatan untuk kebersamaan), disusul Tari Wiranjaya diinspirasi dari epos Mahabharata yang berkisah tentang latihan memanah dan perang dua saudara Nakula-Sadewa. Tarian ini sempat menghilang saat hiruk-pikuk politik pada tahun 1965. Baru pada tahun 2000-an direkonstruksi oleh maestro tari Bali Made Terip.
Pada perform kedua Seeka Gong menampilkan Tari Agrapana (sumber kehidupan abadi) yang bercerita tentang air sebagai sumber kehidupan dan karenanya harus dimuliakan. Seeka Gong mengakhiri performnya dengan Meplalianan Ngelawar yang menggambarkan keriangan menyambut Hari Raya Galungan.
Ranranga Dance Academy (RDA) dari Sri Langka memainkan dua komposisi tari. RDA yang seluruh penarinya merupakan penari muda dengan usia paling tua 17 tahun telah mewakili Srilanka pada lebih 25 event seni tradisi dan budaya di tingkat internasional.
Perform Daya Presta dengan karya koreografi Mask menutup hari pertama Asia Tri Jogja 2016.
Festival Asia Tri merupakan sebuah festival seni pertunjukan yang diprakarsai oleh artis dari tiga negara: Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia (Yogyakarta) diantaranya Yang Hye Jin dari Korea Selatan, Soga Masaru dari Jepang, dan Bambang Paningron dan Bimo Wiwohatmo dari Indonesia (Yogyakarta).
Festival Asia Tri dihelat pertama kali pada tahun 2005 di Seoul, Korea Selatan dilanjutkan tahun berikutnya di Yogyakarta. Pada penyelenggaraannya kang ke-10 tahun 2015 digelar di Ulen Sentalu, Kaliurang-Sleman dengan artis-penari dari Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Sri Lanka, Australia, Ukraina, dan artis-artis Indonesia yang datang dari Cirebon, Kalimantan, Ponorogo, Lampung, Solo, Jakarta, Papua dan Yogyakarta.
Jogja darurat panggung
Acara yang akan berlangsung selama tiga hari 28-30 September 2016 merupakan perhelatan yang kesebelas sejak pertama kali digelar. Berbeda dari penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya, Asia Tri kali ini disajikan dalam perform indoor. Penanggungjawab Asia Tri 2016 Bambang Paningron menjelaskan bahwa format kali ini semata-mata masalah teknis.
"Ini untuk menyelamatkan (acara) agar tetap terselenggara. Secara konsep memang tidak (terlalu) ideal, namun dalam dua bulan terakhir ini di tempat penyelenggaraan yang sebelumnya (Ulen Sentalu, Sleman) selalu hujan. Tidak mungkin dilakukan secara outdoor. Kalau harus dilaksanakan (outdoor) di sana, bisa-bisa justru para performer tidak jadi menari karena basah kehujanan," kata Bambang kepada satuharapan.com di sela-sela pementasan hari pertama Asia Tri 2016, Rabu (28/9) malam.
Dengan pertimbangan tersebut Bambang memindahkan pementasan ke dalam gedung Pendhapa Art Space agar para pementas tetap bisa menampilkan kreasi tarinya. Beberapa hari sebelumnya saat digelar Jogja International Street Performance di Malioboro, beberapa penampil gagal perform akibat hujan yang mengguyur.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan bahwa secara umum Jogja kekurangan ruang untuk berkembangnya seni pertunjukan meskipun secara jumlah ada banyak festival terselenggara setiap tahunnya di Yogyakarta.
"Saat ini di dunia internasional perkembangan tari kontemporer menjadi perbincangan banyak pihak. Di Jogja kelompok-kelompok (tari kontemporer) ini banyak sekali. Mereka terus berlatih dan berkreasi menghasilkan karya-karya (koreografi) baru. Di sisi lain mereka kekurangan ruang (tempat, panggung, kesempatan). Jika dibiarkan dan tidak ditampilkan, kreativitas mereka hanya akan terhenti di sanggar-sanggar latihan," kata Bambang menyoroti minimnya kesempatan tampil koreografer muda Yogyakarta menampilkan karya kreativitasnya di Yogyakarta.
Adanya Asia Tri dan juga event-event tari kontemporer lain semisal Malioboro Night Festival, Jogja International Street Performance yang memanfaatkan jalan sebagai panggung bisa menjadi ruang alternatif bagi koreografer muda Yogyakarta. Dan ketika jalanan menjadi panggung bagi pementasan seolah mengingatkan bahwa pada saat-saat ini Yogyakarta secara kuantitas memang kekurangan ruang publik yang telah banyak berubah fungsi karena banyak hal.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...