Aturan Baku Mutu Udara Harus Direvisi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Para pegiat lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Gerak Bersihkan Udara, menilai peraturan mengenai standar baku mutu udara yang menjadi acuan pemerintah sudah harus direvisi dan disesuaikan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kenyataannya, ambang batas yang ditetapkan KLHK sengaja jauh lebih lemah dibandingkan standar internasional. Kondisi kualitas udara kita sebenarnya sangat buruk apabila diukur dengan standar WHO yang berbasis bukti ilmiah,” kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung di Jakarta, Jumat (26/7).
Ia mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam data pemantauannya selalu mengacu pada Baku Mutu Udara Ambien dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Peraturan itu sudah berlaku 20 tahun, dan selama itu pengetahuan medis tentang pencemaran udara dan dampaknya sudah banyak bertambah. Yang dulu dianggap aman, Dwi mengatakan, sudah tidak memenuhi standar aman sekarang.
Ambang batas yang digunakan oleh KLHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram per m3, di mana ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram per m3.
Dengan kata lain, ambang batas yang selalu diacu KLHK hampir tiga kali lipat lebih lemah, dari lembaga kesehatan PBB tersebut.
Begitu pula halnya dengan ambang batas polutan lain, seperti PM10 yang lebih lemah tiga kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam, polutan nitrogen dioksida (NO2) yang lebih lemah dua kali lipat dibandingkan standar aman WHO dalam durasi pengukuran satu jam, dan polutan sulfur dioksida (SO2) yang lebih lemah 15 kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terpapar oleh polutan-polutan ini setiap harinya.
Dengan kondisi yang demikian, menurut Dwi, KLHK bisa selalu mempunyai pembenar untuk menyatakan bahwa kualitas udara masih dalam kondisi baik atau sehat atau tidak berbahaya.
Padahal, juru kampanye Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika mengatakan, "batas yang ditetapkan sebagai batas aman justru membahayakan kesehatan, khususnya membahayakan kelompok sensitif seperti ibu hamil, balita, dan anak-anak, serta kelompok lanjut usia."
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, warga juga sudah melihat kabut asap yang menyelimuti Jakarta sehari-hari, dan memilih menggunakan masker ketika beraktivitas di luar ruang demi menjaga kesehatan.
"Permasalahan polusi tidak dapat diselesaikan tanpa kemauan politik yang jelas dan keberanian KLHK untuk menetapkan peraturan yang ketat terhadap seluruh sumber polusi, baik itu transportasi, industri maupun pembangkit listrik batubara yang mengelilingi Ibu Kota,” kata dia. (Antaranews.com)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...