Australia dan Indonesia Harus Bertanggung Jawab atas Persoalan Projek KFCP di Kalteng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Australia melalui AusAID dan Pemerintah Indonesia memutuskan menghentikan projek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP), yang merupakan program upaya pengurangan emisi karbon dari degradasi lingkungan dan deforestasi. Sebab, projek tersebut telah mengakibatkan konflik di masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Wahidah Rustam selaku Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan pada siaran pers di Jakarta pada Selasa (9/7).
Pasalnya KFCP yang didanai oleh pemerintah Australia sebesar US$ 30 juta mencakup wilayah seluas 120.000 hektare di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimatan Tengah. Projek ini melibatkan tujuh desa, lima dusun dan dua dukuh telah membawa banyak persoalan bagi masyarakat sekitar.
Projek KFCP yang dimulai pada tahun 2009 sampai Juni 2012 saja sudah menimbulkan berbagai persoalan bagi masyarakat, antara lain pelanggaran kesepakatan, mekanisme yang memicu konflik antar warga, hingga terhalangnya akses masyarakat untuk mengambil hasil hutan. Hambatan itu terjadi akibat dibuatnya bendungan (tabat) pada aliran sungai-sungai kecil yang biasa digunakan warga untuk mengambil hasil hutan.
Kehadiran KFCP juga telah mengakibatkan konflik horizontal dan perubahan pola sosial di masyarakat. Banyaknya pihak asing yang masuk ke desa dan kesimpang-siuran informasi telah membuat masyarakat menjadi lebih mudah saling curiga dan mengikis budaya gotong royong warga.
Selain itu, kebiasaan KFCP memberikan uang transportasi dalam setiap pertemuan sosialisasi atau biasa disebut “uang duduk” membuat masyarakat menjadi malas jika tidak diberikan uang. Kerusakan pola sosial semacam ini yang tidak bisa dikompensasi dengan uang.
Lebih dari itu, hak atas upah pembibitan yang mayoritas dikerjakan oleh perempuan juga dilanggar. Kesepakatan awalnya setiap Kepala Keluarga akan mendapatkan upah sebesar Rp. 1.800/bibit, namun faktanya hanya menerima Rp. 600/bibit. Menurut Wahidah, masih banyak pelanggaran lainnya yang dilakukan KFCP.
Saat ini muncul persoalan baru, yaitu penabatan (bendungan) di beberapa desa, salah satunya di Desa Sei Ahas. “Padahal 54 warga yang memiliki kebun telah menolak penabatan dan bahkan menolak projek KFCP tersebut,” ujar seorang perempuan dari Sei Ahas.
Penabatan dimulai pada 6 Juli 2013, dan bukan hanya satu, tetapi tiga tabat yang akan dibangun. Padahal perpanjangan projek KFCP telah selesai pada Juni 2013.
Warga khawatir untuk melakukan penolakan secara terang-terangan, karena proses penabatan tersebut melibatkan pihak kepolisian. Apalagi pernah terjadi dalam musyawarah desa hadir juga polisi. “Keterlibatan polisi ketika proses musyawarah antara pemerintah, pelaksana projek dan warga menunjukkan bahwa tidak terjadi proses FPIC (free prior informed consent). Prinsip ini menyebutkan bahwa masyarakat punya hak untuk menyetujui projek yang akan berdampak pada alam dalam pelaksanaan projek KFCP,” kata Puspa Dewy selaku Koordinator Program Solidaritas Perempuan.
Terlebih lagi, masyarakat, khususnya perempuan, semakin termarginalkan hak-haknya dalam pengelolaan sumber daya alam. Perempuan tidak lagi bisa mengambil bahan pangan, bahan baku untuk menganyam tikar, maupun menyadap karet.
Solidaritas perempuan menuntut tanggung jawab AusAID dan pemerintah Indonesia atas persoalan tersebut. “Walaupun AusAID mengatakan akan mengakhiri projek tersebut, AusAID dan pihak KFCP tetap harus bertanggung jawab merehabilitasi kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi,” tegas Puspa Dewi.
Editor : Yan Chrisna
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...