AYA Danstheater Pentaskan Repertoar "Veil"
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - AYA Danstheater, sebuah dance company asal Belanda mementaskan repertoar berjudul "Veil", Selasa (23/10) malam di Pendhapa art space Jalan Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, Tegal Krapyak RT. 01, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Bermaterikan performer muda, AYA Danstheater kerap mementaskan karya koreografi bertemakan persinggungan atas realitas identitas budaya, seksualitas, tekanan teman sebaya, ataupun karya-karya koreografi pop.
AYA Danstheater didirikan pada tahun 1990 oleh koreografer Wies Bloemen. Sejak keberhasilan mementaskan Bronsttijd (Mating season, 1996) tentang seksualitas dan cinta, Wies Bloemen mendedikasikan AYA Danstheater secara khusus untuk anak-anak muda.
Repertoar "Veil" karya koreografer Wies Bloemen mengisahkan tentang hidup di antara dua dunia dengan budaya yang berbeda: Eropa barat dan Timur Tengah. Empat personil AYA Danstheater Mouna Laroussi, Chérif Zaouali, Laila el Bazi, Karima el Fillali merupakan keturunan diaspora asal Timur Tengah/Persia yang lahir-besar di Belanda, sementara Zino Schat berdarah Maluku-Belanda.
Dua latar belakang budaya yang dialami kelima dancer dalam kesehariannya sedikit banyak menimbulkan gesekan-ketegangan-tarikan budaya dieksplorasi dalam olah gerak (dance) yang dinamis, dramatis, namun juga jenaka. Interaksi dalam dialog antar penampil maupun dengan penonton serta ajakan kepada penonton untuk menjadi bagian dari pementasan menjadi tawaran lain pementasan "Veil". Dan sentuhan nyanyian dengan lirik berdialek Arab-Persia maupun bahasa lainnya yang dibawakan Karima el Fillali pada beberapa bagian pementasan "Veil" menjadikan mirip sebuah operet tari modern.
Rasa keingintahuan, komitmen atas kehidupan bersama yang setara menjadi dasar karya-karya AYA Danstheater dengan menguak realitas yang ada dalam berbagai perspektif untuk mengungkap nilai-nilai kemanusiaan secara jujur dan bermartabat sebagai sebentuk pencerahan (enlightenment). Dalam repertoar "Veil", kelima dancer bersama-sama mencari matahari sebagai sumber cahaya/pencerahan dalam ribuan mimpi dialog-dialektika sebelum fajar tiba.
Veil/hijab/jilbab dalam sejarah peradaban manusia
Veil merujuk pada sebuah cadar transparan sebagai aksesoris yang digunakan oleh mempelai perempuan dalam pernikahan. Diperkenalkan pada masa kekaisaran Roma, saat selembar kain merah digunakan untuk menutupi rambut hingga ujung kaki sang pengantin wanita. Merah konon dianggap sebagai simbol api yang dapat membuat roh jahat ketakutan, sehingga tidak mengacaukan hari penting sang pengantin. Pengantin perempuan adalah simbol kesuburan (fertilitas) yang harus dijaga. Konsep tubuh perempuan dalam hubungan keberlangsungan generasi maupun hubungan sosial dalam pementasan "Veil" dijelaskan dalam narasi dua bahasa oleh masing-masing penari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kepada pengunjung.
Dalam pementasan "Veil", pada salah satu bagian AYA Danstheater mengangkat tentang 'veil' (kerudung/hijab/jilbab) sebagai salah satu kostum dalam pementasan yang kerap menimbulkan tegangan dalam hubungan manusia ketika dianggap mewakili sebuah entitas atau simbol-simbol tertentu (agama-suku-ras).
Masyarakat Timur Tengah mengenal tradisi mengenakan jilbab/hijab sebagai sebuah produk budaya. Kebiasaan mengenakan hijab (kain penutup kepala), abaya (kain penutup tubuh seperti “jilbab”), dan bahkan burqa, niqab, atau khimar (kain penutup wajah) bukan hanya dipraktekkan oleh perempuan muslimah, Arab Badui yang memiliki pola hidup nomadik, tetapi juga oleh perempuan non-muslimah dan non-Arab, termasuk perempuan Yahudi.
Tradisi berkerudung ini juga dikenal oleh masyarakat Kristen Ortodoks di Rusia, Ukraina, Cyprus, Yunani, Ukarina, Georgia, Lithuania, Slovakia, Serbia, Uganda, Sardinia-Italia, Irak, Sudan, Estonia, hingga Siberia, dimana hingga kini para perempuan tetap melestarikannya. Mengamati persebaran penggunaan kerudung/jilbab di berbagai belahan dunia dengan latar belakang yang berbeda, kerudung/jilbab/kain penutup kepala selain untuk menutup badan juga sebagai adaptasi atas iklim serta kondisi lingkungan masyarakat setempat.
Peradaban Mesopotomia kuno atau Assyria pada 2.500 SM mencatat bahwa rezim penguasa sudah membuat peraturan atau undang-undang tata-cara berbusana (code) bagi kaum perempuan. Hijab/jilbab digunakan sebagai mekanisme pembeda antara “perempuan bangsawan” dengan “perempuan dari masyarakat biasa”. Bahkan para budak perempuan, pekerja rendahan, dan perempuan tak berkasta dilarang memakai hijab/jilbab, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman berat.
Imam Besar Masjid al-Azhar Nasaruddin Umar dalam sebuah tulisannya pada tahun 2002 (Kompas, 25/11) menjelaskan bahwa konsep hijab sebagai pakaian penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama samawi (Yahudi dan Nasrani). Pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam code Bilalama (3.000 SM), code Hammurabi (2.000 SM), dan code Assyria (1.500 SM).
Kebiasaan dari jaman Mesopotamia kuno tersebut kemudian diteruskan oleh berbagai imperium kuno, sebutlah Mesir, Yunani, Persia, Byzantium, Romawi yang sama-sama memandang pemakaian hijab itu sebagai “simbol kehormatan”, prestise, dan “high status”. Tradisi tersebut mempengaruhi agama-agama Semit/samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) di Timur Tengah. Tidak berlebihan ketiga agama “warisan” Ibrahim atau Abraham ini pun mengadopsi tradisi hijab. Kelompok perempuan Yahudi dan Kristen awal (sebagian berlanjut sampai sekarang) mengenakan hijab/jilbab, perempuan Yahudi awal bahkan mengenakan niqab.
Tradisi perempuan Arab tidak berhijab/niqab/burqa, dan dari imperium Byzantium-lah tradisi hijab tersebut diperkenalkan ke kawasan Arab dan Timur Tengah dimana pada masa itu imperium-imperium tersebut mengepung kawasan tersebut.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...