Badan Amal Buddha di Taiwan Menyebarkan Pesan Pendiri kepada Dunia
HUALIEN-TAIWAN, SATUHARAPAN.COM-Ketika gempa berkekuatan 7,4 skala Richter menghantam Taiwan di bulan April lalu, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit bagi lembaga amal paling dikenal di wilayah ini untuk mendirikan pusat respons darurat.
Tzu Chi, sebuah organisasi Buddha internasional yang dipimpin oleh seorang biara berusia 87 tahun, Biksu Cheng Yen, dan para pengikutnya, langsung beraksi. Mereka menyiapkan makanan dan segala perlengkapan kebutuhan hidup bagi para korban dan tim penyelamat, mulai dari air minum dan minuman berenergi sampai selimut, kasur, dan tenda.
Para biara yang tinggal di pemukiman Jing Si di Hualien, episentrum gempa di pantai timur pulau tersebut. Tempat itu juga menjadi rumah spiritual bagi organisasi global tersebut, yang didukung oleh jutaan anggota dari 67 negara, termasuk Amerika Serikat.
Di tahun 1966, Cheng Yen—tersentuh dari kurangnya akses kesehatan dasar di wilayahnya yang indah tetapi kurang berkembang secara ekonomi—mendirikan Tzu Chi, mengundang para ibu rumah tangga lokal untuk menabung 50 sen Taiwan setiap bulannya.
Saat ini, yayasan amal ini menyelenggarakan operasi bantuan di seluruh dunia. Di Taiwan, mereka menjalankan rumah sakit, sebuah sekolah medis, dan kanal televisi kabelnya sendiri.
Selama pandemi COVID-19, di tengah upaya nasional untuk mengimunisasi 23 juta penduduk di pulau tersebut, yayasan ini menggunakan pengaruh anggotanya di seluruh sektor perawatan kesehatan dan sektor bisnis lainnya untuk membeli juta juta vaksin.
Di sekitar Taiwan, Tzu Chi terkenal dengan upaya bantuannya terhadap gempa. Secara global, mereka telah membangun jaringan penggerak dan pelopor yang pekerjaannya berkisar daribantuan bencana dan pembangunan sekolah, rumah ibadah, tempat tinggal dan rumah sakit, sampai pemukiman untuk para pengungsi dan memberi makan orang-orang yang kelaparan.
Organisasi ini memiliki keberadaan yang signifikan di A.S sejak 1989 dengan 80 lokasi program yang dijalankan oleh para pekerja yang dibayar dan sekitar setengah juta relawan. Mereka menjalankan operasi bantuan setelah kejadian 11 September 2001 dan selama badai
Katrina dan Sandy.
Belakangan ini, mereka sedang berupaya membantu para korban dan keluarga dari penembakan massal tahun 2022 di di kota Monterey Park di California Seltan, yang sebagian besar penduduknya orang Asia. Mereka mendonasikan $1,5 juta untuk operasi bantuan setelah kebakaran Maui di Hawaii tahun 2023 yang menelan lebih dari 100 nyawa.
Stephen Huang, director eksekutif relawan global Tzu Chi yang berbasis di California Selatan, menjadi murid Cheng Yen 35 tahun yang lalu, selama masa berkabung setelah kematian mendadak kakaknya.
Huang paham kenapa mereka yang tidak mengenal Tzu Chi mungkin bertanya-tanya bagaimana seorang biarawati bertubuh mungil, bertutur kata lemah lembut, yang bekerja dalam masyarakat patriarki dan jarang meninggalkan tempat tinggalnya yang sederhana di Hualien dapat membangun organisasi global ini.
“Beliau hanyalah orang biasa yang melakukan hal-hal luar biasa,” katanya. “Hati yang ia miliki di balik semua pekerjaan yang telah dilakukannya selama lebih dari 60 tahun dapat dijelaskan dengan satu kata: kasih.”
Organisasi ini ada berkat penggalangan dananya. Banyak dari pekerjaannya yang bergantung
pada para komisioner, anggota yang telah melewati pelatihan ekstensif dan mereka yang
mengumpulkan dana bulanan.
Tidak ada syarat jumlah minimal, tetapi para anggota harus mengumpulkan dana dari minimal 40 orang dan juga memberikan sumbangan sendiri.“Lebih banyak lebih baik, tetapi tidak ada batas minimal atau maksimal,” kata Chen Mei-yue, seorang guru dan komisioner Tzu Chi di Taipei.
Laporan tahunan terbaru mereka dari 2022 menunjukkan bahwa Tzu Chi mendapatkan 5,6 miliar dolar Taiwan melalui upaya penggalangan dana mereka, yang menyumbang 61% dari anggaran mereka.
Meski demikian, organisasi ini tidak kebal terhadap skandal. Kritik publik atas kurangnya transparansi mendorong para pemimpin untuk mengunggah laporan tahunan dan keuangan
Tzu Chi secara daring. Organisasi tersebut juga mengundang kontroversi karena merekrut komisaris yang dari kalangan kaya, dan karena banyaknya sumber daya yang tersedia untuk
memajukan tujuannya.
Pada tahun 2005, upaya organisasi tersebut untuk mengubah zonasi dan mengembangkan lahan yang ditujukan untuk konservasi lingkungan di distrik Neihu di Taipei menuai kemarahan publik. Tzu Chi mengalah pada tahun 2015 setelah pertikaian administratif selama satu decade dengan penduduk setempat dan pemerhati lingkungan yang memimpin upaya untuk melestarikan lahan tersebut.
CEO Tzu Chi, Po-wen Yen—mantan kepala United Microelectronics Corporation, produsen semikonduktor utama di Taiwan—sadar akan kritik terhadap kekayaan organisasi. Ia maju sebagai CEO tepat setelah skandal Neihu, berjanji untuk lebih terbuka kepada publik.
“Anda dapat mengatakan bahwa semua sumber yang kami kumpulkan adalah untuk membantu semaksimal mungkin ketika ada bencana yang datang,” katanya, menambahkan bahwa anggaran juga mendanai cabang global lainnya.
Selagi organisasi nirlaba ini didukung oleh donatur dari kalangan atas, katanya, kebanyakan dari anggotanya datang dari kelas menengah.
Organisasi ini melewati batas yang tipis antara organisasi bantuan dan sekte Buddha yang telah menempa identitas religiusnya di bawah kepemimpinan Cheng Yen.
Julia Huang, professor antropologi di Universitas Nasional Tsing Hua di Hsinchu, Taiwan, melacak evolusi Tzu Chi dari sebuah inisiatif kecil hingga menjadi organisasi nirlaba global dalam bukunya, ‘Charisma and Compassion.’ Ia mengatakan bahwa pengajaran Cheng Yen menekankan berjalan di jalan Bodhisattva, seseorang penuh kasih yang mengesampingkan pencerahannya sendiri untuk menyelamatkan mereka yang terluka.
Upaya bantuan kemanusiaan Tzu Chi tidak dapat dipisahkan dari iman, kata Joe Hwang, kepala sukarelawan organisasi—meskipun hal ini menyimpang dari ajaran Buddha tradisional yang menganut penarikan diri dari hal-hal duniawi.
Agama, katanya, adalah cara untuk menuntun manusia menuju kebaikan dan memakainya
untuk membantu orang lain. “Itulah yang saya pikirkan tentang ajaran Buddha, yaitu kita terlibat dalam dunia ini.”
Tzu Chi juga memiliki keunikan dalam caranya ‘menguduskan bidang-bidang sekuler’, kata Julia Huang. Symbol Buddha dapat ditemukan di rumah sakit mereka. Rumah sakit di Hualien memiliki mosaik besar bergambar seorang Buddha yang merawat biksu sakit.
“Di Tzu Chi, rumah sakitnya sendiri adalah gambaran dari agama Buddha,” katanya. Cheng Yen juga mendukung donasi terhadap tubuh untuk pengobatan, mengajarkan bahwa manusia tidak mempunyai hak milik atas tubuhnya setelah mereka meninggal. Para biara tersebut mengambil cerita dari berbagai sumber, termasuk salah satu kisah di mana Buddha dikatakan telah memberikan tubuhnya kepada seekor harimau betina yang kelaparan dan tidak dapat member makan anak-anaknya.
Namun tetap saja, Tzu Chi memiliki sukarelawan dari berbagai agama mayoritas. Pengawas rumah sakitnya di Hualien adalah seorang penganut Kristen. Organisasi tersebut telah mendanai pembangunan gereja di Haiti, Ekuador, dan Mexico, juga masjid di Indonesia, yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.
“Meskipun kami bermula dari Buddha, tetapi kami tidak memiliki batasan untuk membantu
siapapun,” kata CEO Yen.
Tzu Chi saat ini sedang membangun sekolah dan rumah di Mozambique; membantu transmigrasi pengungsi Syria di Turki; membangun universitas terbesar di Indonesia; pelatihan pengungsi Ukraina di Polandia untuk pekerjaan bantuan; dan membangun rumah di Bodhgaya di India, sebuah kota di mana Buddha mencapai pencerahan.
Stephen Huang mengatakan sang biara bahkan telah menghabiskan ribuan dolar untuk memperbaiki sebuah Al-Quran antik. Ia mengatakan angka terbesar proyek Tzu Chi ada di China, dengan penekanan untuk mempromosikan vegetarianisme dan membangun sekolah, pemukiman, dan sumur air di daerah kering.
Di tahun 2010, Tzu Chi menjadi organisasi nirlaba keagamaan pertama di luar negeri yang mendapatkan izin untuk membuat sebuah kantor di China, di mana mereka diidentifikasikan sebagai badan amal daripada kelompok religius. Julia Huang mengatakan anggota di China sangatlah berhati-hati untuk menjaga keberadaannya di negara tersebut, di mana pemerintahnya mengharuskan setiap agama untuk setia kepada partai komunis dan
peraturannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Tzu Chi harus memikirkan kembali cara mereka merujuk pada ritual sakral seperti upacara minum teh dan tetap bersikap apolitis, katanya.
Selagi organisasi itu berjuang untuk membuat perubahan di beberapa negara di mana stabilitas politik adalah sebuah isu—seperti Afghanistan, Nepal, dan beberapa bagian Amerika Selatan— mereka telah melihat kesuksesan di negara-negara lain seperti Indonesia dan Mozambique.
Franky Widjaja, memimpin cabang di Indonesia dengan 2,3 juta anggota, di mana 85% dari warga Indonesia adalah Muslim. Ia memiliki hubungan dekat dengan Cheng Yen sebagai murid dan guru sejak 1998, ketika ayahnya memperkenalkannya dengan sang biara.
Ia telah ikutserta dalam upaya bantuan bencana sejak itu dan melihat pembangunan sekolah dan rumah sakit di sekitar Jakarta. Widjaja mengatakan Cheng Yen membandingkan struktur organisasi dengan seribu tangan Guanyin, dewi pengampunan dan kasih dari kepercayaan Buddha.
“Ia mengatakan bila 500 dari kami keluar untuk membantu, maka itu menjadi 1,000 tangan,” katanya. “Ketika Anda percaya dengan tujuan tersebut dan melakukannya, Anda akan merasakan efeknya terhadap diri Anda sendiri.”
Di Mozambique, Dino Foi dan istrinya Denise Tsai, menjalankan proyek senilai US$70 juta untuk membangun 3,000 rumah dan 23 sekolah di wilayah yang terdampak oleh badan topan Idai di
2019. Tsai, sebagai orang Taiwan, bertemu dan menikah dengan Doi ketika ia menjadi mahasiswa di Taipei. Pasangan itu memimpin cabang Tzu Chi di Mozambique, mengadakan berbagai program termasuk bantuan makanan, perawatan terhadap orang-orang dewasa, pencegahan kehamilan pada remaja, nutrisi anak, pelatihan vokasi dan kelas-kelas Bahasa Inggris.
“Kami memulai dari hal-hal kecil, kami melanjutkan dengan hal-hal kecil, tetapi kami percaya ada masa depan yang cerah di depan,” kata Tsai.
Inti dari pekerjaan Tzu Chi adalah kepercayaan pada karma dan reinkarnasi. Orang Buddha percaya bahwa setiap aksi yang disengaja, baik atau buruk, mendatangkan karma, dan bahwa seseorang akan terlahir kembali tergantung dari pikiran dan tindakan orang itu di kehidupan
sebelumnya.
Stephen Huang mengatakan ia tidak hanya menemukan tujuannya di misi Tzu Chi untuk membantu orang, tetapi juga melihat efek positif dari karma baik.
Ketika gempa bumi menghantam Hualien di bulan April, para anggota bahkan dari jauh seperti Kota Mexico mengatakan mereka ingin menggalang dana untuk membantu mereka yang terdampak di seberang dunia yang lain. Para pengungsi Syria yang sedang membangun ulang kehidupan mereka dan tidak memiliki uang atau bahkan sumber pendapatan untuk diri mereka sendiri, juga menawarkan bantuan.
“Kami semua terhubung oleh kasih,” kata Huang. “Itulah kekuatan dari kasih.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...