Bagaimana Lebanon Mengakhiri Politik Sektarian?
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebih dari satu dekade Lebanon mengalami ketidakpastian politik dan kemerosotan ekonomi. Salah satu penyebabnya adalah sistem politik sektarian yang berlaku di negara itu. Jadi, mungkinkah Lebanon mengakhiri politik sektarian, salah satu tuntutan rakyat yang berdemonstrasi dalam dua pekan ini?
Demonstrasi yang dijuluki “Revolusi WhatsApp” kali ini diyakini sebagai yang paling masif sejak 2005 yang dipicu oleh percikan kemarahan rakyat terhadap rencana pajak pengiriman pesan melalui telefon, termasuk aplikasi WhatsApp.
Kemerosotan ekonomi di Lebanon ditandai oleh utang negara yang mencapai 151 persen dari PDB, dan ini termasuk yang terburuk di dunia. Padahal negara ini pernah memiliki zaman keemasan antara dekade1960-an dan awal 1970-an. Ketika itu, Lebanon sebagai negara yang memiliki realitas plural namun menikmati perdamaian sebagai pusat budaya, keuangan, dan wisata di wilayah tersebut.
Para demonstran tampaknya memimpikan untuk mengembalikan zaman itu yang telah rusak oleh perang saudara dan sulit dikembalikan oleh sistem politik sektarian yang terbentuk dari Perjanjian Taif, sebagai hasil dari upaya menghentikan perang saudara dan rekonsiliasi.
Perjanjian Taif
Sistem politik sektarian telah berlangsung di Lebanon sejak 1990 atau sudah hampir tiga dekade. Sistem ini berdasarkan Perjanjian Taif tahun 1989 di Arab Saudi. Perjanjian ini adalah upaya mengakhiri perang saudara di negara tepi Laut Tengah itu. Perang pada kurun 1975 hingga 1990 telah memasukkan Lebanon dalam penderitaan dengan ratusan ribu orang tewas, dan jutaan orang mengungsi.
Dalam Perjanjian Taif yang merupakan Kesepakatan Rekonsiliasi Nasional, disepakati membagi kekuasaan negara di antara perwakilan dari berbagai sekte, termasuk presiden dari orang Kristen, perdana menteri Muslim Sunni, dan ketua parlemen Muslim Syiah.
Milisi Bersenjata
Meskipun perjanjian itu juga menyerukan perlucutan senjata pada semua faksi dan milisi di Lebanon, tetapi ada pengecualian terhadap milisi Hizbullah. Bahkan sampai hari ini Hizbullah tetap memiliki senjata dan mengembangkan kemampuan militernya.
Milisi Hizbullah dalam pengecualian sebagai "kekuatan perlawanan" dalam menghadapi pendudukan Israel di Lebanon selatan. Namun setelah penarikan pasukan Israel dari Lebanon pada tahun 2000, Hizbullah tetap memiliki senjata dan mengembangkan kemampuan militer dengan dukungan dari Iran.
Hizbullah tampaknya secara efektif telah menjadi sebuah negara di dalam negara Lebanon, dan milisi memperoleh dana dari Iran sebesar sekitar 700 juta dolar AS per tahun. Kesetiaan Hizbullah kepada Iran, yang dituduh memiliki agenda sendiri memicu kemarahan para politisi dan warga Lebanon selama bertahun-tahun.
Nasrallah beberapa kali secara terbuka mengatakan bahwa dia bangga dengan kesetiaan kelompoknya kepada Iran. Dan menyebut Lebanon lebih aman karena Hizbullah memegang senjata, terutama dalam menghadapi Israel dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Kontra Protes Rakyat
Protes rakyat Lebanon di seluruh negeri sempat berkembang mengkhawatirkan, karena adanya bentrokan di wilayah selatan yang dipicu oleh serangan pendukung Hizbullah. Hal ini menjadi pemandangan yang lebih berbahaya bagi masa depan Lebanon, karena bisa memicu konflik yang mengarah pada perang saudara lagi.
Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, telah menyatakan bahwa dia menolak tuntutan para pemrotes untuk sistem politik baru di Lebanon yang non sektarian dan berbeda dengan Perjanjian Taif. Dia juga menyalahkan para pemrotes.
Dia sudah memperingatkan bahwa situasi tegang hari ini dapat menyebabkan perang saudara baru. Nasrallah memimpin salah satu milisi paling terlatih di Lebanon. Pasukannya telah mengangkat senjata terhadap sesama warga bangsa, sehingga ancamannya dipandang sebagai hal yang tidak bisa diremeh.
Posisi Hizbullah
Politik di Lebanon selama bertahun-tahun dikendalikan oleh situasi yang dikendalikan oleh para pemain utamanya seperti Michel Aoun (presiden), Saad Al-Hariri (perdana menteri) dan Nabih Berry (ketu parlemen). Di samping itu ada pemimpin Partai Pasukan Lebanon, Samir Geagea, pemimpin Druze, Walid Jumblatt, dan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah. Mereka mewakili pusat kekuatan politik sektarian Lebanon, dan banyak dari mereka dituduh melayani kekuatan asing, bukan kepentingan Lebanon.
Sistem politik yang non sektarian, bisa menjadi ancaman bagi entitas politik itu. Terutama bagi keberadaan Hizbullah, terutama dengan kekuatan milisi bersenjatanya. Situasi yang berkembang di mana dia berseberangan dengan rakyat bisa membuat kehilangan popularitas. Ini bisa berkembang menjadi konflik politik, dan memicu perang saudara, jika respons Hizbullah menggunakan kekuatan senjata.
Posisi Hizbullah sekarang memang dalam kesulitan yang serius: berseberangan dengan massa pemrotes dan mendapat tekanan dari luar negeri. Entitas politik lain bisa ikut menekan terkait agenda yang diinginkan rakyat.
Kelompok ini menjadi batu sandungan bagi Lebanon, karena beberapa negara memasukkannya dalam daftar organisasi teroris. Dan membawa Lebanon dalam kesulitan hubungan internasional di tengah konflik Iran dengan negara lain terkait senjata Nuklir.
Hal yang nyata adalah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ke Hizbullah sebagai perluasan tekanan dengan sanksi kepada Iran.
Hizbullah marah sanksi itu dan mengancam akan menyerang bank yang tunduk pada sanksi itu. Hari Rabu (30/10) ini Lebanon menyaksikan negara-negara Teluk bergabung untuk memberikan sanksi kepada 25 entitas terkait Iran, dan tentu saja termasuk Hizbullah.
Perjuangan Sipil
Sistem politik non sektarian yang dituntut rakyat merupakan bagian mimpi rakyat Lebanon mengembalikan masa keemasan negara mereka. Hal itu diharapkan terjadi dengan mendorong persaingan politik yang lebih terbuka, munculnya entitas politik baru dan tidak didasarkan pada kuota dan sekte yang selama ini membuat masing-masing kekuatan mempertahankan kepentingannya.
Jika itu terwujud, kemungkinan masih akan berputar dan melibatkan sebagian orang-orang di antara kalangan elite sekarang, karena belum ada tanda-tanda kesiapan sipil Lebanon untuk sistem baru. Apalagi protes ini nyaris tanpa pemimpin dan bergerak secara spontan atas dasar keprihatinan bersama.
“Revolusi WhatsApp” adalah perjuangan sipil di Lebanon yang menampilkan kekuatan rakyat dalam aksi protes yang luas dan relatif damai. Tetapi elite politik yang “nyaman “ dengan politik sektarian, dan memiliki kekebalan untuk korupsi, tidak akan senang. Dan Lebanon harus belajar dari Mesir pada 2011 yang terlena ketika dijadikan pion oleh Ikhwanul Muslimin dalam mengejar kekuasaan.
Perjanjian Taif memang telah meredam perang saudara selama tiga dekade, namun tampaknya tidak memadai lagi untuk situasi sekarang. Menyingkirkan sistem politik sektarian di Lebanon membutuhkan entitas politik baru untuk menentang kekuatan politik yang ada, tetapi pemrotes perlu mengorganisasi diri dan strategi untuk tidak dimainkan oleh kekuatan ekstrem.
Seruan rakyat untuk mengakhiri politik sektarian juga telah disambut oleh Presiden Michel Aoun dalam pidato di televisi, dan dia menyuarakan hal yang sama. Tapi apa langkah yang akan dilakukan di Lebanon untuk mengubah konstitusi mereka?
Editor : Sabar Subekti
Banjarmasin Gelar Festival Budaya Minangkabau
BANJARMASIN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan dukungan p...