Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 10:08 WIB | Selasa, 06 Agustus 2024

Bagaimana Serangan pada Pimpinan Hamas dan Hizbullan Dapat Mbdorong Perang Regional?

Warga Palestina di Lebanon menggelar protes pembunuhan pemimpin Hamas Palestina, Ismail Haniyeh, hari Rabu (31/7). Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas di pengasingan yang masuk dalam daftar incaran Israel setelah kelompok militan itu melancarkan serangan mendadak pada 7 Oktober, tewas dalam serangan udara di ibu kota Iran, Theran, Rabu dini hari. (Foto: AP/Mohammad Zaatari)

YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Penargetan dua pemimpin militan senior di dua ibu kota Timur Tengah dalam hitungan jam — dengan setiap serangan disalahkan pada Israel — berisiko mengguncang kawasan itu pada saat yang kritis.

Serangan itu terjadi saat mediator internasional berupaya membawa Israel dan Hamas untuk menyetujui gencatan senjata yang akan mengakhiri perang yang menghancurkan di Gaza dan membebaskan sandera.

Upaya diplomatik yang intens juga sedang dilakukan untuk meredakan ketegangan antara Israel dan Hizbullah setelah berbulan-bulan pertempuran lintas perbatasan.

Pembunuhan pemimpin tertinggi Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran Iran, dan serangan terhadap komandan senior Hizbullah, Fouad Shukur, di Beirut, Lebanon, dapat menggagalkan upaya yang sungguh-sungguh untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah.

Iran juga mengancam akan menanggapi setelah serangan di wilayahnya, yang dapat menyeret kawasan itu ke dalam perang habis-habisan.

Berikut ini adalah gambaran tentang potensi dampak dari serangan tersebut:

Negosiasi Gencatan Genjata Gaza Dapat Gagal

Pembunuhan Haniyeh bisa mendorong Hamas untuk menarik diri dari negosiasi gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, meskipun Hamas belum mengomentari masalah tersebut.

Namun, mengingat peran Haniyeh, seorang pejabat senior Mesir yang mengetahui langsung negosiasi tersebut mengatakan pembunuhan tersebut kemungkinan besar akan berdampak, dan menyebutnya sebagai "tindakan yang sembrono."

"Haniyeh adalah penghubung utama dengan para pemimpin (Hamas) di Gaza, dan dengan faksi-faksi Palestina lainnya," kata pejabat tersebut, yang bertemu dengan pemimpin Hamas beberapa kali dalam pembicaraan tersebut. "Dialah orang yang kami temui secara langsung dan berbicara tentang gencatan senjata."

Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim karena ia tidak berwenang untuk membahas pembicaraan tersebut dengan media.

Perdana Menteri Qatar, Mohammed Bin Abdul Rahman al-Thani, mengutuk serangan tersebut. "Bagaimana mediasi bisa berhasil jika satu pihak membunuh negosiator di pihak lain?" tulisnya di platform media sosial X.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan dia tidak ingin berspekulasi tentang dampaknya, tetapi kejadian tersebut memperbarui "keharusan untuk mencapai gencatan senjata," yang katanya sedang mereka upayakan setiap hari.

Hizbullah mengatakan akan menghentikan tembakannya ke Israel jika gencatan senjata Gaza tercapai.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berpendapat bahwa tekanan militer akan mendorong Hamas untuk menyetujui kesepakatan, tetapi pembunuhan tokoh senior sebelumnya tampaknya tidak meningkatkan peluang tercapainya kesepakatan.

Orang-orang di Gaza mengungkapkan kesedihan dan keterkejutan atas pembunuhan Haniyeh dan khawatir bahwa kesepakatan gencatan senjata akan gagal.

"Dengan membunuh Haniyeh, mereka menghancurkan segalanya," kata Nour Abu Salam, seorang pengungsi Palestina. "Mereka tidak menginginkan perdamaian. Mereka tidak menginginkan kesepakatan."

Keluarga sandera yang semakin putus asa yang ditawan di Gaza mendesak agar orang yang mereka cintai dibebaskan.

"Saya tidak tertarik dengan pembunuhan ini atau itu, saya tertarik dengan kepulangan putra saya dan para sandera lainnya, dengan selamat dan sehat, ke rumah," kata Dani Miran, yang putranya Omri, 46 tahun, diculik dari Kibbutz Nahal Oz pada 7 Oktober.

Perang Yang Lebih Luas Berisiko Meletus

Serangan itu juga menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa diplomat yang berupaya meredakan ketegangan di kawasan itu. "Peristiwa di Teheran dan Beirut mendorong seluruh Timur Tengah ke dalam perang regional yang menghancurkan," kata seorang diplomat Barat.

Diplomat itu — yang pemerintahannya telah terlibat dalam diplomasi bersama untuk mencegah perang habis-habisan antara Israel dan Hizbullah, tetapi tidak terlibat langsung dalam gencatan senjata atau negosiasi penyanderaan — menyebut pembunuhan Haniyeh sebagai "perkembangan serius" yang "hampir membunuh" kemungkinan gencatan senjata di Gaza, mengingat waktu dan lokasinya.

Dia mengatakan bahwa pembunuhan Haniyeh di dalam Teheran saat menghadiri pelantikan presiden Iran "akan memaksa Teheran untuk merespons."

Pembunuhan di Teheran bukanlah pertama kalinya disalahkan pada Israel atas serangan yang ditargetkan di wilayah Iran, tetapi ini adalah salah satu yang paling berani, kata Menachem Merhavy, seorang pakar Iran dari Universitas Ibrani Yerusalem.

Israel belum menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu, meskipun bersumpah untuk membunuh semua pemimpin Hamas atas serangan 7 Oktober.

Merhavy berpikir tidak mungkin Iran akan menanggapi Israel secara langsung, seperti dengan rentetan 300 roket pada bulan April setelah serangan yang diduga dilakukan Israel di Suriah yang menewaskan dua jenderal Iran di gedung konsulat Iran.

Dia yakin Iran lebih mungkin mengirimkan responsnya melalui Hizbullah. "Iran tahu bahwa kemampuannya untuk menyakiti Israel jauh lebih signifikan dari Lebanon," kata Merhavy.

Lokasi pembunuhan Haniyeh sama pentingnya dengan serangan itu sendiri, katanya. “Pesan itu ditujukan kepada Iran dan proksi, jika Anda pikir di Teheran Anda terlindungi, kami juga dapat menghubungi Anda di sana,” kata Merhavy. “Pertimbangkan kembali hubungan Anda dengan Teheran, karena mereka tidak dapat melindungi Anda di wilayahnya sendiri.”

Pemimpin Yang Menjadi Sasaran Dapat Dengan Mudah Diganti

Meskipun nama Haniyeh lebih dikenal secara internasional, serangan terhadap komandan Hizbullah Fouad Shukur, "jauh lebih penting dari sudut pandang fungsional," kata Michael Milshtein, seorang analis Israel untuk urusan Palestina di Universitas Tel Aviv dan mantan perwira intelijen militer.

Ia mengatakan, Shukur terlibat dalam manajemen harian serangan Hizbullah terhadap Israel, termasuk, menurut Israel, serangan roket terhadap Majdal Shams yang menewaskan 12 pemuda komunitas Druze pada hari Sabtu. Israel mengatakan serangannya di Beirut pada hari Selasa menewaskannya tetapi Hizbullah belum mengonfirmasi hal itu.

"Jika Hizbullah mempertimbangkan bagaimana bertindak atau menanggapi, salah satu tanda tanya utama adalah bagaimana mereka akan mengelola perang tanpa Shukur," kata Milshtein.

Yang lain mengatakan Shukur, posisinya akan mudah digantikan.

 “Hizbullah memiliki banyak komandan dan pemimpin, dan pembunuhan satu atau 10 atau 500 orang tidak akan mengubah keadaan,” kata Fawaz Gerges, dari London School of Economics.

 

Gerges mengatakan Haniyeh adalah pemimpin yang jauh lebih simbolis dan jauh dari operasi sehari-hari di Gaza.

“Meskipun pembunuhan Haniyeh merupakan pukulan yang menyakitkan bagi Hamas, hal itu tidak akan membuat perbedaan dalam konfrontasi militer antara Israel dan Hamas,” kata Gerges.

Ia mencatat bahwa Israel memiliki sejarah panjang dalam membunuh para pemimpin kelompok Palestina, tetapi serangan tersebut tidak berdampak besar karena para pemimpinnya dengan cepat diganti. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home