Bagaimana Singkong Bantu Perangi Sampah Plastik di Indonesia
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM – Ketika Indonesia dinobatkan sebagai salah stau sumber polusi sampah plastik terbesar sejagad, dua pria mengemban misi menciptakan alternatif plastik yang lebih ramah lingkungan dan mendapatkan solusi pada singkong.
Sengatan matahari dan bau busuk menyekat hidung pengunjung di Tempat Pembuangan Akhir Rawa Kucing, Tangerang. Kecoa berukuran besar mendominasi populasi hama di kawasan seluas 35 hektare tersebut. Setiap menit sebuah truk datang membawa limbah, sementara ekskavator menimbun gunungan sampah yang kian hari kian tinggi.
Sugianto Tandio hanya terdiam menyimak timbunan sampah plastik di TPA Rawa Kucing. "Setiap hari sekitar 1.500 ton sampah datang ke sini dan 15 sampai 20 persennya adalah plastik," kata dia. Karena plastik membutuhkan waktu antara 500 hingga 1.000 tahun untuk terurai, setiap sampah di Tangerang dipastikan bakal menjadi masalah warisan untuk generasi mendatang.
"Bahkan hari ini, sepertiga ikan di samudera bumi sudah mengandung plastik mikro. Bayangkan saja, setiap kali makan makanan laut, Anda harus memilih tiga ikan yang bisa dimakan dan yang tidak boleh," kata Tommy Tjiptadjaja. "Ini bukan masalah yang bisa kita wariskan untuk anak cucu. Generasi saat ini harus mengambil langkah kongkrit “ katanya, pada Jumat (9/11), yang dilansir situs dw.com.
Bersama Tandio, ekonom lulusan Universitas Chicago itu mendirikan Greenhope, perusahaan yang berambisi mengembangkan plastik alternatif yang ramah lingkungan. Salah satu produk yang berhasil mereka ciptakan adalah Ecoplas, "yang dibuat dari polimer biologis dari tapioka," kata Tandio.
Pengakuan Internasional
Kini keduanya sudah mengantongi berbagai hak paten atas penemuan tersebut, termasuk kantung plastik ekologis yang khusus dikembangkan untuk pasar Amerika Serikat.
Tidak heran jika Tandio dan Tjiptadjaja memenangkan penghargaan "Social Entrepreneur Award" dari Schwab Foundation, 2013 silam. Tapioka yang terbuat dari singkong bisa diproduksi di berbagai negara tropis yang notabene memiliki tingkat konsumsi plastik dalam jumlah besar. Tandio yakin, plastik dari singkong bisa menjadi sumber pemasukan baru buat petani kecil di negara miskin.
Polusi plastik, yang saat ini menjadi perhatian publik dunia menempatkan Tandio dan Tjiptadjaja ,sebagai langganan pembicara di berbagai forum internasional. Ketika Tandio menyambangi Our Ocean Conference di Bali, rekannya menghadiri pertemuan dengan Pemerintah Malaysia. Sementara Pemerintah Kenya dan sejumlah negara Amerika Latin berniat mengundang keduanya.
Indonesia sendiri, baru berniat melarang penggunaan plastik yang terbuat dari minyak pada 2020. Namun, saat ini plastik alternatif buatan Greenhope sudah tersedia di berbagai supermarket dan toko di tanah air. Sekilas, Ecoplas, terlihat seperti kantung plastik biasa. Yang membedakan adalah tulisan di permukaannya yang menyebut singkong sebagai bahan dasar utama.
Berkat penerimaan pasar yang cukup besar Greenhope kini memiliki 50 pegawai. Meski tumbuh pesat, perusahaan ini kesulitan menurunkan biaya produksi Ecoplas yang sebesar dua kali lipat dibandingkan plastik tradisional. Sebab itu banyak konsumen yang masih enggan membeli plastik ramah lingkungan.
Alternatif yang Lebih Murah
Untuk mengakalinya Tjiptadjaja dan Tandio, membentuk tim penelitian dan pengembangan yang sejauh ini sudah berhasil menemukan senyawa aditif yang diberinama Oxium. Jika ditambahkan ke dalam campuran bahan pembuat plastik, zat ini membatasi usia plastik konvensional menjadi hanya 2 tahun.
Dengan Oxium, plastik bisa diproduksi secara konvensional dengan tambahan ongkos produksi sebesar hanya 2 hingga 5 persen. Meski tidak ideal, penemuan tersebut bisa membuat plastik sekali pakai di banyak negara miskin menjadi lebih ramah lingkungan. Greenhope mengklaim telah menjual Oxium di Afrika Selatan, Malaysia dan sejumlah negara lain.
Untuk TPA Rawa Kucing, Greenhope menawarkan terpal raksasa yang terbuat dari Oxium, untuk menutupi timbunan sampah dan menghadang bau busuk menjalar ke lingkungan sekitar. Meski demikian sejauh ini Tandio baru bisa menjual dua buah terpal kepada pengelola TPA setiap tahunnya.
Dia hanya bisa menggeleng kepala, ketika melihat timbunan sampah baru di Rawa Kucing. Timbunan ini harus segera ditutup dengan terpal supaya tidak membahayakan kesehatan penduduk sekitar, katanya. Tapi sayangnya harga terpal ramah lingkungan buatannya masih terlalu mahal untuk pengelola TPA.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...