Bahasa Perang dalam Pembicaraan Damai Suriah
SATUHARAPAN.COM – Wakil Khusus Gabungan PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Lakhdar Brahimi, meminta maaf pada rakyat Suriah, karena putaran kedua pertemuan Jenewa untuk mengakhiri perang saudara selama tiga tahun di negara itu tidak mencapai kemajuan apa-apa. Para delegasi yang berperang di Suriah berdebat panjang hanya untuk mencari kesepakatan tentang agenda yang akan dibahas, dan pertemuan hari Sabtu (15/2) yang hanya 27 menit menunjukkan mereka gagal menyepakatinya.
Ini adalah berita yang buruk. Bukan saja karena perundingan nyaris tanpa hasil, tetapi juga perang masih akan terus berkecamuk. Para jurnalis memperkirakan bahwa selama proses perundingan sejak putaran pertama pada 22 Januari, sedikitnya 5.000 orang terbunuh dalam perang di Suriah. Kegagalan putaran kedua di Jenewa bisa bebarti angka itu akan membengkak.
Ini juga berita buruk bagi rakyat Suriah, untuk mereka yang di kamp pengungsi di negara tetangga, tetapi terutama bagi mereka yang terjebak di tengah pertempuran. Penderitaan mereka yang tak terkatakan dan begitu panjang, akan semakin mengerikan.
Kota tua Homs, misalnya hampir dua tahun terkupung dengan warga dijadikan benteng hidup oleh kedua pihak, dan bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk. Berita dua pekan lalu menyebutkan mereka makan rumput yang tumbuh di sekitar tempat tinggal. Puluhan sudah meninggal karena kelaparan. Dan selain Homs, ada banyak kota dalam kondisi serupa.
Namun hal ini juga merupakan berita buruk bagi dunia dan kemanusiaan. Perang saudara di Suriah bisa jadi yang terburuk dalam abad ke-21 ini. Pelanggaran kemanusiaan dan teknik penyiksaan hampir tidak bisa diterima di abad yang mestinya jauh lebih beradab ini.
Letak Kegagalan
Berbagai pendapat muncul tentang kegagalan pembicaraan putaran kedua di Jenewa. Pihak opoisisi dan pihak Barat yang mendukung Koalisi Oposisi Suriah, meletakkan kesalahan pada rezim pemerintahan Bashar Al-Assad. Rezim berkeras untuk membahas agenda utama keamanan dan terorisme, dicurgai sebagai cara menolak membahas badan transisi yang akan menjalankan fungsi pemerintahan sementara.
Dan tentu saja, pihak pemerintah Suriah dengan beberapa dukungan dari Rusia, mitra utamanya, menyalahkan oposisi yang tidak mau membahas masalah terorisme dan keamanan. Suriah menilai tidak ada pemerintahan transisi tanpa memperbaiki keamanan, dan mengatasi jihadis dari asing yang dia sebut sebagai teroris.
Berhari-hari para delegasi kedua pihak berbicara dengan berbagai argumentasi untuk menyepakai mana yang dibahas lebih dulu. Pembicaraan bukannya membangun saling memahami, sebaliknya justru membangkitkan kecurigaan.
Lakhdar Brahimi menyebutkan bahwa oposisi mencurigai delegasi rezim akan meninggalkan pembahasan tentang badan transisi. Jika agenda keamanan dan terorisme dibahas lebih dulu, oposisi mencurigai rezim akan membelokkan isu sehingga badan transisi dibuat tidak relevan.
Sementara pihak rezim sejak awal sudah mencium bahwa oposisi hanya mau membahas agenda badan transisi hanya untuk menyingkirkan kekuasaan Al-Assad. Mereka mencurigai juga oposisi sebagai boneka dalam kendali kepentingan asing. Itu sebabnya, delegasi rezim selalu menyebutkan hanya mau berdialog dengan wakil rakyat Suriah dan untuk kepentingan Suriah.
Bahasa Perang Bukan Dialog Damai
Mencermati apa yang terjadi dalam proses pembicaraan ini, Lakhdar Brahimi dalam usianya yang cukup lanjut mencerminkan seorang mediator yang gigih dan sabar. Dia berulang kali berbicara secara terpisah dengan kedua pihak, dan kemudian memimpin pertemuan bersama. Dia selalu menjadi jembatan pembicaraan. Sayangnya mediator yang matang ini menghadapi delegasi para pihak yang keras.
Bahasa para pihak masih merupakan bahasa perang, dan bukan bahasa dialog damai. Sejak awal media memberitakan tentang kedua pihak yang mengeluarkan tuduhan “label” yang tajam pada pihak lain. Dan hal itu berlangsung hingga putaran kedua berakhir. Untuk ini, Brahimi bahkan harus mengingatkan para pihak untuk lebih bijak dan hati-hati berbicara kepada pers.
Bahasa para pihak memang masih bahasa perang. Rezim ingin memberi label oposisi sebagai “teroris” dan “boneka” asing. Bahasa ini menadai sikap rezim bahwa oposisi bukan wakil dari rakyat Suriah dan konsekuensinya tidak proper sebagai mitra dialog.
Sebaliknya, oposisi hanya mau membahas badan transisi, dan dengan tegas disebutkan tanpa Al-Assad. Bahasa ini menandai bahwa Al-Assad sudah tidak relevan untuk masa depan Suriah. Itu artinya siapapun yang mewakili Al-Assad tidak mempunyai legitimasi untuk dialog bagi masa depan Suriah.
Bahasa kedua pihak masih bahasa yang ingin “meniadakan” masing-masing pihak. Ini adalah bahasa perang yang ingin “membunuh” dan “menaklukkan” pihak lain. Selama bahasa ini yang dipakai, maka dialog sampai berapapun putarannya hanya akan menjadi kamuflase seolah-olah ada upaya penyelesaian politik. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah perang di Suriah dengan senjata yang mematikan, dan hal itu “dilegitimasi” oleh perang kata-kata di ruang sidang di markas PBB di Jenewa.
Lawan Negosiasi
Dalam kenyataan, kekuatan pemerintah Suriah dan rezim Bashar Al-Assad secara riil eksis dan memiliki kekuatan. Pertempuran selama tiga tahun dengan segala akibatnya, serta resolusi PBB yang membuat Suriah makin terisolasi, namun Al-Assad masih bertahan, adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan.
Amerika Serikat belakangan mengakui Al-Assad makin kuat posisinya karena masalah jihadis asing. Oposisi dan pihak Barat yang selama ini bersikeras untuk menyingkirkan Al-Assad tidak bisa mengabaikan hal ini. Hal yang sulit dibayangkan berdialog dengan delegasi Al-Assad untuk menyepakati badan transisi tanpa Al-Assad. Jika sikap itu yang dipertahankan, maka sebenarnya mempertahankan perang, hanya saja mereka ada di balik layar. Sedangkan oposisi berperang di garis depan.
Sebaliknya, jika rezim menolak pembicaraan badan transisi, sama artinya dengan tidak menghendaki penyelesaian politik. Apalagi rezim hendak menyelenggarakan pemilihan umum sebagai cara yang ditawarkan. Banyak pihak dengan mudah menuduhnya sebagai pemilihan sandiwara dan menolaknya. Demikian juga menuduh oposisi sebagai teroris dan boneka asing.
Oposisi adalah kekuatan nyata di Suriah dan bertahan dengan pertempuran selama hampir tiga tahun. Ada bantuan asing memang tidak bisa dibantah, termasuk masuknya jihadis. Namun milisi Hizbullah dari Libanon yang membantu tentara rezim juga banyak disebut.
Dialog untuk masa depan Suriah tidak bisa kalau kedua pihak saling menegasikan. Yang diperlukan adalah keduanya mengakui bahwa mereka dalam konflik dan posisinya bertentangan, tetapi mereka juga harus mendudukan masing-masih sebagai mitra dialog. Kata kunci memang terletak pada Suriah ke depan untuk siapa? Untuk koalisi oposisi atau untuk rezim Al-Assad? Atau untuk rakyat Suriah di mana di dalamnya ada koalisi oposisi dan ada rezim Al-Assad, namun dengan pemerintahan baru yang demokratis?
Para pihak harus memposisikan masing-masing pihak sebagai lawan negosiasi atau bahkan mitra dialog, dan bukan menegasikan. Tanpa itu, solusinya hanya akan berarti yang satu menang dan yang lain kalah. Dalam situasi Suriah sekarang, hal itu berarti bergantung pada suara senapan. Ini sikap yang sangat mengerikan.
Solusi politik yang demokratis dan damai semestinya bisa menerima semua komponen dalam Suriah, sekalipun mereka dalam populasi kecil. Dan terutama ditempatkan sebagai lawan negosiasi atau mitra sialog. Dalam hal ini setidaknya antara rezim dan oposisi.
Mudah-mudahan para delegasi menemukan kebijakan di masa jeda sebelum memasuki putaran ketiga yang entah kapan dilakukan.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...