Bahasa Sketsa, Merekam Imaji Perjalanan Waktu
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bagi seniman-perupa, sketsa adalah pintu masuk konsep sebuah karya. Dari sketsa itulah sebuah karya akan tersaji pilihan dimensi, medium, teknik hingga nilai artistik-estetik karya nantinya.
Seniman-perupa kelahiran Kudus S Mulyana Gustama yang cukup lama meninggalkan Yogyakarta, dalam tiga tahun terakhir kembali bergelut dengan berproses karya di Yogyakarta dan menjadikan sketsa sebagai salah satu bentuk akhir karya. Sebagaimana Hotland Tobing yang memilih drawing sebagai jalan hidup seninya, pilihan Mamik, panggilan S Mulyana, ini menarik di tengah perkembangan seni rupa yang begitu beragam menampilkan karya lukis, patung, bahkan seni kriya yang semakin menggeliat.
Dalam sepuluh tahun terakhir, diluar pameran tugas mahasiswa jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta, hampir-hampir tidak ada seniman-perupa yang memamerkan karya sketsanya. Kalaupun ada, rentang waktu pameran sudah cukup lama. Tahun 2009 perupa Solichin memamerkan karya sketsanya di Museum Lobby Lounge Galeri, The Phoenix Hotel Yogyakarta memamerkan sebanyak 20 sketsa yang menggambarkan sejumlah tempat cagar budaya di Yogyakarta. Dengan mengambil tajuk "Aikon", Ledek Sukadi memamerkan karya sketsanya pada 4-18 Mei 2011. Setelah itu kalaupun ada seniman-perupa memamerkan karya sketsanya hanya bagian kecil dari sebuah pameran bersama.
Pameran sketsa dalam jumlah besar terakhir dilakukan oleh seniman-perupa Joseph Wiyono dan Syahrizal Pahlevi yang memamerkan masing-masing 200 karya sketsa dalam berbagai bentuk display ukuran kertas A4 dengan media pena hitam di Studio Kalahan 1-10 Oktober 2016. Dalam waktu hampir bersamaan, penulis Gregorius Soeharsojo Goenito dalam sebuah acara diskusi di Ruang Lontar Universitas Sanata Dharma memamerkan karya sketsa yang dibuat saat menjalani tahanan politik, sejak penangkapannya pada 1966 hingga pembebasannya pada 1978.
Empat tahun terakhir geliat sketsa di Yogyakarta menemukan momentum kembali setelah seniman-perupa Widarsono Bambang secara rutin melakukan sketsa on the spot di berbagai tempat di Yogyakarta dengan berinteraksi dan mengajak orang yang ada di sekitar ots untuk juga terlibat dalam kegiatan sketsanya. Ketekunan tersebut seolah mendapatkan sambutan hingga berdirinya Asosiasi Olahraga Sketsa Indonesia (AORSI), sebuah komunitas terbuka yang cukup cair dimana seniman-perupa kerap melakukan kegiatan sketch on the spot sebagai bagian berproses seni rupanya.
"Sketsa menjadi dasar bagi perupa didalam menghasilkan karya seni-kreatifnya. Sketsa merupakan catatan perupa saat merekam sesuatu yang dilihat atau berupa catatan momen kilasan ide yang bisa menjadi gagasan untuk digunakan dalam proses berkarya. Sketsa merupakan bagian dari proses kreatif perupa dalam menggambarkan citra, gagasan ataupun konsep sebuah karya seni." jelas Joseph Wiyono kepada satuharapan.com saat pembukaan sebuah pameran di Omah Petroek, Minggu (28/1) malam.
Empat puluh satu sketsa dalam berbagai medium dan dimensi karya S. Mulyana "Mamik" Gustama dipamerkan di Tembi Rumah Budaya. Pameran "Bahasa Sketsa" dibuka pada Rabu (14/2) malam oleh pengajar ISI Yogyakarta Mikke Susanto. Dalam sambutannya Mikke Susanto menjelaskan bahwa secara garis besar sketsa sebagai sebuah proses berkesenian seni rupa meliputi tiga hal yaitu catatan bagi seniman, latihan, serta karya akhir.
"Perkembangan sketsa sudah melintasi banyak hal. Yang kita saksikan dalam penampilan tadi adalah salah satu pengembangan sketsa (on the spot) yang dikemas dalam bentuk perform." papar Mikke Susanto saat mengomentari perform sketsa on the stage kelompok Anjing Tanah yang merespon kain serta lantai pendopo Tembi Rumah Budaya sebagai medium karya. Mikke memberikan gambaran bagaimana perkembangan sketsa sudah melintasi disiplin ilmu seni dalam sambutan pembukaan pameran "Bahasa Sketsa", Rabu (14/2) malam.
Gradasi warna menjadi kekuatan karya sketsa Mamik melengkapi tarikan garis-garis dalam merekam setiap imaji. Pilihan komposisi warna menjadikan setiap karya Mamik tidak "membeku" pada sebuah kejadian. Inilah yang menjadi bahasa sketsa Mamik: dinamis bahkan pada sebuah bangunan heritage sekalipun, dimana sketsa seolah tidak berbicara tentang kesunyian semata ataupun rekaman perjalanan yang berhenti sejenak pada satu waktu.
Tiga tahun kembali ke Yogyakarta dan mengeksplorasi sketsa sebagai respon ataupun sebuah aktivitas on the spot menjadi sebuah karya akhir tentu menyisakan pertanyaan: sedang menawarkan "cerita" lanjutan apakah Mamik dengan sketsanya? Jika sepenggal waktu yang dijadikan kilasan pameran Mamik kali ini, ada kesan Mamik sedang dalam sebuah percobaan bermain sketsa sebagai ranah seni rupa untuk eksplorasi proses berseni rupa di Yogyakarta yang cukup lama ditinggalkannya. Namun jika melihat secara keseluruhan karya yang dipamerkan dengan jejak panjangnya, Mamik justru sedang serius menggarap sketsa tidak sekedar pintu masuk ataupun upaya merekam peristiwa. Goresan garis di atas gradasi warna menjadi bahasa tersendiri bagi karyanya: sketsa dalam dialog, tanpa penjelasan judul ataupun narasi berlebihan setiap pengunjung akan dibawa dalam cerita bahkan kenangannya sendiri-sendiri. Dalam keintiman karya sketsa Teh Menoreh, Pertapaan Eyang Sakri, Tebing Turgo, Kali Kuning yang paling sunyi pun, sketsa Mamik mampu membahasakan dirinya sendiri.
Yang mungkin sedikit berbeda adalah dua karya sketsa berjudul "Tumbuh" dan "Tumbuh ke Atas". Bisa jadi Mamik sedang dalam penghayatan proses bertumbuh (kembali) dalam arah-warna yang paling sederhana: hitam-putih, sementara hidup sendiri justru sintesa imaji warna yang terus berkembang ke berbagai arah.
Salah satu ciri khas sketsa Mamik adalah garis-garis dalam potret manusia di atas cat air. Dengan menyertakan obyek manusia dalam banyak karya sketsanya, Mamik sedang memotret interkasi berbagai arah. Tidak penting seberapa besar intensitas interaksi berlangsung, namun sketsa human interest kadang luput dalam aktivitas sketsa yang melulu terfokus pada rupa ruang landscape desa-kota ataupun bangunan heritage hingga melupakan interaksi manusia dan lingkungan sekitarnya. Dalam karya Gapura Makam Kotagede, Musik Jalanan, Plengkung Gading, Nglinthing Kretek, Secangkir Kopi Muria, bagaimanapun, karya seni rupa bukanlah ruang kosong kesunyian. Pada titik ini Mamik tidak berusaha untuk membekukan waktu yang sedang berjalan.
Bangunan tua dalam rona monochrome coklat yang dihasilkan dari ampas kopi dalam sketsa berjudul "Old" menjadi salah satu karya Mamik yang menarik. Eksperimen ampas kopi (lethek) dengan tingkat kelembutan tertentu menghasilkan citra gradasi warna coklat kopi dengan medium kanvas dalam sebuah karya yang bertekstur tiga dimensi. Alih-alih membuat goresan-goresan garis sketsa, yang yang dihasilkan justru sebuah lukisan monochrome. Dalam bahasa sketsa Mamik seolah tidak ada batas lagi dimana sketsa hendak ditempatkan.
Pameran seni rupa "Bahasa Sketsa" akan berlangsung hingga 6 Maret 2018 di TeMBI Rumah Budaya Jl. Jalan Parangtritis Km 8.4 Bantul.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...