Baiq Nuril, Amnesti tidak Selesaikan Kasus Pelecehan Seksual
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komnas Perempuan menilai pemberian amnesti kepada Baiq Nuril tidak akan menyelesaikan kasus pelecehan seksual terhadap perempuan secara struktural, jika tidak diikuti pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, dalam laporan Callistasia Wijaya dari BBC News Indonesia, menilai pemberian amnesti presiden pertama untuk korban pelecehan seksual ini, hanya berimplikasi kepada individu Baiq Nuril.
“Implikasinya hanya untuk sementara, hanya satu kasus. Padahal kasus ini nggak hanya terjadi pada Baiq Nuril,” ujar Mariana.
Dia mengatakan dari sekitar 3.000 laporan kekerasan seksual yang diterima Komnas Perempuan, hampir seluruh korbannya disalahkan oleh lingkungannya.
Terutama, kata Mariana, untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga dan dalam pacaran.
“Kalau ada kasus berikutnya (di mana korban dikriminalisasi) mau diamnesti lagi? Nggak efektiflah,” katanya.
Maka itu, Mariana menegaskan, penting bagi DPR segera mengesahkan RUU PKS dan merivisi UU ITE.
RUU PKS, kata Mariana, memuat definisi pelecehan seksual yang lebih komprehensif, di antaranya pelecehan secara ujaran, seperti yang terjadi pada Baiq Nuril.
Jika RUU itu disahkan, Baiq Nuril akan diperlakukan sebagai korban yang juga tidak akan dijerat dengan UU ITE.
“Jadi nggak perlu ada amnesti presiden lagi kan? Karena sistem sudah bekerja dengan sendirinya,” katanya.
Bahaya dan Absurditas dalam UU ITE
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan hal serupa.
“Kasus Nuril menunjukkan bahaya dan absurditas yang terkandung dalam UU ITE. Ini adalah waktu yang tepat untuk merevisinya secara radikal, khususnya ketentuan tentang pencemaran nama baik dan penistaan. Amnesti Nuril bisa menjadi kemenangan bagi perempuan - juga kebebasan berekspresi,” kata Usman.
DPR telah menyetujui rekomendasi presiden terhadap Baiq Nuril, Kamis (25/7).
Baiq Nuril, perempuan asal Nusa Tenggara Barat itu, menyambut keputusan itu dengan sujud syukur.
Dengan berurai air mata, ia mengemukakan harapannya agar tiada orang yang menjadi korban pelecehan seksual dan dipidana.
“Saya berharap begitu, jangan sampai, mulai detik ini jangan sampai ada yang seperti saya. Itu menyakitkan sekali, jangan sampai ada. Saya berharap jangan sampai ada,” katanya.
Ia menambahkan, korban pelecehan harus berani bersuara.
“Harus berani, harus berani. Jangan beri kesempatan kedua kali kalaupun itu terjadi pada Anda sekali, jangan beri kesempatan untuk kedua kalinya. Harus Anda berani bersuara,” ucapnya.
Joko Jumadi selaku pengacara Baiq Nuril mengemukakan keyakinannya Presiden Jokowi akan segera mengeluarkan surat keputusan presiden soal pemberian amnesti setelah DPR menyampaikan persetujuan.
“Kami sangat yakin kepada presiden akan segera mengeluarkan (Keputusan Presiden mengenai) amnesti. Kami tak akan mendorong-dorong tapi kami akan menunggu.”
Sudah Sampai di Mana RUU PKS?
Rapat Paripurna DPR, Kamis (25/7) menyepakati perpanjangan pembahasan RUU PKS hingga akhir masa periode DPR tahun ini, yakni pada 30 September 2019.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, yang membahas RUU PKS, mengatakan RUU itu ditargetkan untuk disahkan pada tanggal 27 September.
Marwan, kader PKB itu mengatakan, sejumlah hambatan menghalangi disahkannya RUU ini.
“UU ini agak kontroversi, banyak masyarakat di luar DPR yang menolak. Kekhawatirannya karena terlalu liberal dan ditakutkan akan menjadi pintu masuk LGBT,” ujarnya.
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang juga mempermasalahkan isi RUU ini.
Marwan mengatakan dia mencoba menengahi aspirasi kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan meminta masukan banyak pihak tentang frasa-frasa yang sebaiknya dipakai untuk meminimalisasi kecurigaan tentang RUU tersebut.
Dia menegaskan RUU itu perlu disahkan karena mendesak.
“Kita nggak mau anak kita dilecehkan kan? Istri dilecehkan? Artinya UU ini penting,” katanya.
Meski begitu, Marwan mengatakan RUU PKS tidak bisa disahkan lebih dahulu jika RUU KUHP belum disahkan.
Bab pemidanaan di RUU PKS itu, ujarnya, harus berdasarkan ketentuan mengenai perzinahan, pemerkosaan, dan percabulan yang diatur dalam KUHP yang baru.
Politikus PDIP yang juga anggora DPR, Rieke Diah Pitaloka, yang mendampingi Baiq Nuril dalam perjalanan kasusnya, tidak menerima argumen itu.
“Nggak masalah, nggak ada yang nggak bisa dibicarakan. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa diubah. Kalau itu demi kepentingan keadilan yang lebih luas, mari kita punya komitmen juga,” kata Rieke.
Jika pun RUU ini tidak bisa disahkan di periode ini, Rieke menambahkan, akan tetap memperjuangkan RUU itu disahkan pada periode DPR mendatang.
Jejak Perkara
Kasus tersebut berlangsung pada 2012 saat Baiq Nuril masih menjadi staf honorer di SMAN 7 Mataram.
Baiq Nuril mengaku sebagai korban pelecehan seksual oleh pria berinisial M yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala SMAN 7 Mataram.
Setelah kasus itu terungkap, kepala sekolah dimutasi dan dia melaporkan Nuril ke polisi atas tuduhan menyebarkan rekaman elektronik.
Akibatnya ibu tiga anak itu ditahan polisi pada Maret 2017 dan diadili. Ia menghabiskan masa tahanan selama dua bulan tiga hari.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, terungkap pembicaraan M dengan Baiq Nuril via telepon.
Eks atasan Baiq Nuril itu kerap menceritakan hubungan badannya dengan wanita lain yang bukan istrinya. Merasa dilecehkan, Baiq Nuril pun merekam percakapan itu lewat ponsel miliknya.
Pada sidang 26 Juli 2017, hakim membebaskannya. Namun, jaksa mengajukan banding atas kasus itu, di mana Pengadilan Tinggi lagi-lagi memenangkan Baiq Nuril.
Tak puas dengan itu, kejaksaan membawa kasus itu ke ranah Mahkamah Agung, di mana Baiq kemudian dinyatakan bersalah.
Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA menyatakan Nuril bersalah atas sangkaan “mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan” yang tertera dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Eksekusi mantan guru honorer di Mataram ini ditunda oleh kejaksaan dan saat ini masih bebas.
Nuril juga kembali dinyatakan bersalah oleh MA saat ia melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut. (bbc.com)
BMKG Prediksi Salju Puncak Jayawijaya Hilang 2026
TIMIKA, SATUHARAPAN.COM - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Mos...