Bangladesh: Demonstran Ingin Peraih Nobel Muhammad Yunus Pimpin Negara
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Seorang penyelenggara utama protes mahasiswa Bangladesh mengatakan peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, adalah pilihan mereka sebagai kepala pemerintahan sementara sehari setelah Perdana Menteri lama, Sheik Hasina, mengundurkan diri.
Presiden negara itu dan panglima militer mengatakan pada hari Senin (5/8) bahwa pemerintahan sementara akan segera dibentuk.
Nahid Islam, penyelenggara protes, dalam sebuah unggahan video di media sosial mengatakan para pemimpin protes mahasiswa telah berbicara dengan Yunus, yang setuju untuk mengambil alih dengan mempertimbangkan situasi negara saat ini.
Yunus menghadapi sejumlah tuduhan korupsi dan diadili selama pemerintahan Hasina. Ia menerima Nobel pada tahun 2006 setelah ia memelopori pinjaman mikro, dan ia mengatakan tuduhan korupsi terhadapnya dimotivasi oleh dendam.
Islam mengatakan para demonstran mahasiswa akan mengumumkan lebih banyak nama untuk pemerintahan, dan akan menjadi tantangan yang sulit bagi para pemimpin saat ini untuk mengabaikan pilihan mereka.
Hasina mengundurkan diri dan meninggalkan negara itu pada hari Senin (5/8) setelah beberapa pekan protes terhadap sistem kuota untuk pekerjaan pemerintah berubah menjadi kekerasan dan berkembang menjadi tantangan yang lebih luas terhadap kekuasaannya selama 15 tahun.
Ribuan demonstran menyerbu kediaman resminya dan gedung-gedung lain yang terkait dengan partai dan keluarganya. Kepergiannya mengancam akan menciptakan lebih banyak ketidakstabilan di negara Asia Selatan yang berpenduduk padat itu yang sudah menghadapi serangkaian krisis, mulai dari pengangguran yang tinggi hingga korupsi dan perubahan iklim.
Di tengah masalah keamanan, bandara utama di Dhaka, ibu kota, menghentikan operasinya.
Kekerasan sebelum dan sesudah pengunduran dirinya menyebabkan sedikitnya 109 orang tewas dan ratusan lainnya terluka, menurut laporan media, yang tidak dapat dikonfirmasi secara independen. Lebih dari selusin orang dilaporkan tewas ketika pengunjuk rasa membakar sebuah hotel milik seorang pemimpin partai Hasina di kota Jashore di barat daya.
Lebih banyak kekerasan di Savar, tepat di luar Dhaka, sedikitnya 25 orang tewas, kata laporan itu. Sepuluh orang lainnya tewas di lingkungan Uttara, Dhaka.
Kepala militer, Jenderal Waker-uz-Zamam, mengatakan bahwa ia untuk sementara mengambil alih kendali negara, dan para prajurit berusaha membendung kerusuhan yang semakin meluas.
Mohammed Shahabuddin, presiden boneka negara itu, mengumumkan pada Senin malam setelah bertemu dengan Waker-uz-Zamam dan politisi oposisi bahwa Parlemen akan dibubarkan dan pemerintah nasional akan dibentuk sesegera mungkin, yang akan mengarah pada pemilihan umum baru.
Berbicara setelah pemimpin yang tengah berjuang itu terlihat dalam rekaman televisi menaiki helikopter militer bersama saudara perempuannya, Waker-uz-Zaman berusaha meyakinkan bangsa yang gelisah bahwa ketertiban akan dipulihkan. Namun, para ahli memperingatkan bahwa jalan di depan akan panjang.
Ratusan ribu orang turun ke jalan sambil melambaikan bendera dan bersorak untuk merayakan pengunduran diri Hasina. Namun, beberapa perayaan segera berubah menjadi kekerasan, dengan para pengunjuk rasa menyerang simbol-simbol pemerintahan dan partainya, mengacak-acak dan membakar beberapa gedung.
“Ini bukan sekadar akhir bagi tiran Sheikh Hasina, dengan ini kita mengakhiri negara mafia yang telah diciptakannya,” ungkap Sairaj Salekin, seorang mahasiswa pengunjuk rasa, di jalanan Dhaka.
Protes dimulai dengan damai bulan lalu saat mahasiswa yang frustrasi menuntut diakhirinya sistem kuota untuk pekerjaan pemerintah yang menurut mereka menguntungkan mereka yang memiliki hubungan dengan partai Liga Awami milik perdana menteri.
Namun di tengah tindakan keras yang mematikan, demonstrasi berubah menjadi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Hasina, yang menyoroti tingkat kesulitan ekonomi di Bangladesh, di mana ekspor telah jatuh dan cadangan devisa menipis.
Waker-uz-Zaman berjanji bahwa militer akan menyelidiki tindakan keras yang telah menewaskan hampir 300 orang sejak pertengahan Juli, salah satu pertumpahan darah terburuk di negara itu sejak perang kemerdekaan tahun 1971, dan yang telah memicu kemarahan terhadap pemerintah.
Hampir 100 orang, termasuk 14 petugas polisi, tewas pada hari Minggu (4/8), menurut surat kabar harian berbahasa Bengali terkemuka di negara itu, Prothom Alo. Setidaknya 11.000 orang telah ditangkap dalam beberapa pekan terakhir.
“Tetap percaya pada militer. Kami akan menyelidiki semua pembunuhan dan menghukum yang bertanggung jawab,” katanya.
Militer memegang pengaruh politik yang signifikan di Bangladesh, yang telah menghadapi lebih dari 20 kudeta atau upaya kudeta sejak kemerdekaan pada tahun 1971. Namun tidak jelas apakah pengunduran diri Hasina atau seruan kepala militer untuk ketenangan akan cukup untuk mengakhiri kekacauan.
Sepanjang hari, orang-orang terus masuk dan keluar dari kediaman resmi Hasina, di mana mereka membakar, membawa perabotan, dan mengambil ikan mentah dari lemari es. Mereka juga berkumpul di luar gedung parlemen, di mana spanduk bertuliskan “keadilan” digantung.
Massa juga menggeledah rumah leluhur keluarga Hasina yang diubah menjadi museum tempat ayahnya, Sheikh Mujibur Rahman — presiden pertama negara itu dan pemimpin kemerdekaan — dibunuh. Mereka kantor-kantor utama partai yang berkuasa dan dua stasiun TV pro-pemerintah, yang memaksa keduanya berhenti mengudara.
Sementara itu, Hasina mendarat di sebuah kota di India di perbatasan dengan Bangladesh, menurut seorang pejabat militer yang berbicara dengan syarat anonim karena ia tidak berwenang untuk merilis informasi tersebut ke media. Tidak jelas ke mana ia akan pergi selanjutnya.
Perempuan berusia 76 tahun itu terpilih untuk masa jabatan keempat berturut-turut dalam pemungutan suara bulan Januari yang diboikot oleh lawan-lawan utamanya. Ribuan anggota oposisi dipenjara sebelum pemungutan suara, dan AS dan Inggris mengecam hasilnya sebagai tidak kredibel, meskipun pemerintah membelanya.
Hasina telah menjalin hubungan dengan negara-negara kuat, termasuk negara tetangga India dan Cina. Namun hubungan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah tegang karena hilangnya kebebasan sipil di negara yang mayoritas Muslim dengan penduduk 170 juta orang itu.
Lawan-lawan politiknya sebelumnya menuduhnya semakin otokratis dan menyalahkan kerusuhan itu pada sikap otoriternya. Secara total, ia menjabat lebih dari 20 tahun, lebih lama daripada kepala pemerintahan perempuan lainnya.
Putra Hasina, Sajeeb Wazed Joy, mengatakan kepada BBC bahwa ia meragukan ibunya akan kembali ke dunia politik, seperti yang pernah dilakukannya di masa lalu, dengan mengatakan bahwa ibunya "sangat kecewa setelah semua kerja kerasnya." (AP)
Editor : Sabar Subekti
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...