Bangsa RI Abai Terhadap Ancaman Nonmiliter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Belakangan ini kita begitu abai terhadap ancaman-ancaman bagi bangsa dari sisi nonmiliter," kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, di Jakarta, Sabtu (7/3).
Menurut Pontjo Sutowo, dalam bedah buku 'Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila', "hendaknya diingat bahwa salah satu military blunder dalam sejarah perang yang pemah terjadi adalah ‘menyiapkan diri untuk menghadapi perang masa lalu'. Tentu kita tidak boleh mengulangi kesalahan fatal yang pernah terjadi tersebut,".
Ancaman terhadap bangsa tidak lagi seperti 75 tahun yang lalu yang hanya bersifat militer saja, hari ini ancaman itu sudah berkembang dalam bentuk yang jauh lebih kompleks.
Penggunaan mesin perang, menurut dia tidak lagi sebatas kekuatan militer saja, tapi sudah menggunakan berbagai kekuatan lainnya, seperti penggunaan politik, ekonomi, hukum legislasi, budaya, investasi, narkoba, tenaga kerja bahkan genetika berupa bakteri dan virus.
Sayangnya bahaya nyata untuk bangsa tersebut, menurut Pontjo malah tidak dianggap ancaman, dan terkesan abai, padahal bentuk-bentuk tersebut bergerak begitu cepat dan memunculkan konsep peperangan model baru.
"Oleh karena itu kalau kita mencintai bangsa ini, maka harus betul-betul bersiap diri, tidak boleh kita abai, kita lalai seolah negara ini akan ada selamanya, kita harus selalu bersiap karena bangsa adalah amanah yang diberikan pada cucu, bukan warisan orang tua yang bisa dimanfaatkan begitu saja," ucapnya
Untuk menghadapi ancaman model baru itu, menurut dia tidak lagi hanya menjadi beban militer yakni TNI saja, namun peran utama sebenarnya dipegang oleh cendikiawan dan tokoh bangsa.
"Saya percaya cendekiawan punya peran penting, kalau kita lihat sejarah bangsa Indonesia peperangan melawan kolonialisme barat selama ratusan tahun tidak dimenangkan oleh raja ataupun oleh tentara-tentaranya, tapi karena peranan organisasi yang ide pokoknya cendikiawan," kata dia.
Kemudian, kesadaran untuk mencegah ancaman bangsa itu juga dibangun dari tokoh atau saat ini lebih dikenal dengan elite bangsa, hal itu kata Pontjo karena yang mampu menggerakkan masyarakat hanyalah para elite.
"Dulu pun yang meneriakkan merdeka atau mati saat penjajahan semuanya digerakkan oleh para elite, hanya mereka yang mampu menggerakkan masyarakat yang sangat heterogen," ujarnya. (Ant)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...