Bangun Poros Maritim, Pendidikan SDM Harus Diprioritaskan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Suseno Sukoyono menguraikan pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) bisa menjadi jalan untuk mengembalikan jati diri sebagai bangsa maritim, yang sudah luntur karena penjajahan.
Pasalnya, sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, melakukan Politik Pelayaran Hongi, di mana pelabuhan yang dijadikan tempat transasksi perdagangan di wilayah Maluku-Sulawesi-Pulau Jawa ditutup. Sejak itulah terjadi pembodohan, Padahal jati diri bangsa kita yang sebelumnya adalah perdagangan, pelayaran dan kota pantai, diubah menjadi daratan.
“Masyarakat Indonesia diubah mindset atau paradigmanya dari lautan ke daratan. Proses itu berlangsung selama ratusan tahun. Maka sampai saat ini orientasi kita selalu ke daratan,” ucap Suseno dalam acara peluncuran dan bedah buku Bukan Bangsa Kuli yang diselenggarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (29/8).
Menurut Ketua Umum Dewan Ikan Hias Indonesia itu, pendidikan memang tidak bisa hasilnya dipetik langsung, karena merupakan investasi jangka panjang. Tetapi yang perlu diperhatikan pendidikan harus disesuaikan karakteristik sosial budaya di tiap-tiap wilayah.
Sementara itu, Kepala Sub-bidang Kerja Sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), KKP, Shahandra Hanitiyo, merupakan cucu Perdana Menteri Indonesia, Djuanda Kartawidjaja yang mencetuskan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 menjelaskan Indonesia punya 13.504 pulau yang terdaftar sampai saat ini, dengan berbagai macam karakter wilayah maupun SDM yang berbeda-beda.
Maka, Shahandra mengusulkan perlu dibuat sentra-sentra yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. Misalnya, Indonesia bagian timur yang kaya akan sumber daya alam, diberikan ilmu terkait dengan kelautan tersebut, sedangkan Indonesia bagian barat karakternya lebih ke processing dan industri hasil laut. Jadi tidak bisa menyamaratakan pendidikan di tiap wilayah.
Tidak boleh dilupakan juga pengawasannya, terutama dalam menempatkan aparat pengawas di laut-laut Indonesia, yaitu bagaimana berkoordinasi yang baik antar aparat dari berbagai titik laut Indonesia, agar kinerja mereka bisa efektif di lapangan.
“Selama ini, yang mengurus kelautan dan yang mengawasi adalah dua lembaga terpisah, ini menjadi tidak efektif, kita seperti mundur 12 tahun,” sesal dia.
Ia berpendapat untuk mengimplementasi suatu visi misi pemerintahan di bidang maritim dan kelautan, berawal dari kabinet.
“Kalau sudah salah men-setting kabinet, ke depannya akan sulit. Kami sudah berdiskusi dengan pakar-pakar kelautan, mereka menyampaikan bahwa maritim dan kelautan itu dua hal yang berbeda jauh,” urai Shahandra.
Kemudian dia menjelaskan, maritim itu mencakup atas laut dan bawah laut, sementara kelautan meliputi dari dasar laut paling dalam sampai ruang udara di atasnya. Dan semua itu perlu menjadi perhatian kabinet yang akan terbentuk nantinya.
Lembaga kelautan dan perikanan kita sudah berdiri sejak zaman Presiden Gus Dur, kurang lebih sudah 15 tahun, tetapi sepertinya mengalami kemunduran. Selain itu biaya untuk menimba ilmu dan pengalaman sudah sangat banyak dikeluarkan negara, maka tidak perlu mencari ide-ide atau jargon politik baru.
Langkah pertama dia menilai perlunya Rencana Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna melindungi hak-hak nelayan, serta memastikan nelayan melaksanakan kewajibannya. Hak nelayan misalnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) subsidi untuk kapal mereka, mendapatkan pendidikan dan pelatihan, sedangkan kewajiban nelayan nantinya harus mencatat ikan hasil tangkapan mereka ke dalam software yang dibuat khusus untuk kelautan.
“Yang perlu dilakukan hanya mengambil pengalaman yang sudah ada, kita sudah menemukan pola untuk membangun kembali Indonesia sebagai negara kelautan, jadi segera ambil langkahnya, salah satunya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,” kata Shahandra.
Sama halnya dengan wisata bahari. Misalnya di Wakatobi, kalau SDM tidak disiapkan, tidak mungkin menjadi destinasi wisata internasional seperti sekarang, bagaimana orang bisa mengelola restoran, perhotelan, membantu turis yang ingin menyelam (diving/snorkling). aka SDM harus punya keterampilan yang baik.
Sayangnya, pengelolaan wisata bahari sampai saat ini masih kurang baik. Bisa kita lihat seperti di Pulau Morotai, Maluku Utara, atau tidak usah jauh-jauh, kita lihat saja di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, pantai yang tadinya indah menjadi kotor karena banyak sampah.
Promosi terus dilakukan untuk mendatangkan wisatawan, sementara SDM-nya tidak diperbaiki, sehingga mereka tidak mampu mengelola tempat itu dengan baik.
Dikatakan Tim Ahli Fraksi PDI-P MPR RI dan Direktur Program Megawati Institute, Indah P. Nataprawira saat kampanye di salah desa nelayan seperti di Garut dan Tasik, ia melihat kehidupan nelayan yang sangat jauh dari pelatihan. Padahal daerah itu tidak jauh dari Jakarta. Karena itu, ia menjanjikan memberikan rumah aspirasi bagi para nelayan untuk tempat pelatihan, dan gagasan tersebut pun disambut baik oleh nelayan setempat.
Indah kemudian menjelaskan bahwa pembangunan kelautan harus diprioritaskan sesuai dengan tiga pilar NKRI, yaitu Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang dicetuskan Perdana Menteri Indonesia, Djuanda Kartawidjaja.
Deklarasi Djuanda manyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut internasional United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...