Banjir Jadi Bencana Tahunan di Sudan Selatan, Ribuan Orang Bertahan Hidup di Tepi Kanal
AYOD-SUDAN SELATAN, SATUHARAPAN.COM-Sapi bertanduk panjang mengarungi tanah yang terendam banjir dan mendaki lereng di sepanjang kanal yang telah menjadi tempat perlindungan bagi keluarga-keluarga yang mengungsi di Sudan Selatan. Asap dari pembakaran kotoran mengepul di dekat rumah-rumah dari lumpur dan rumput tempat ribuan orang sekarang tinggal setelah banjir menyapu desa mereka.
"Terlalu banyak penderitaan," kata Bichiok Hoth Chuiny, seorang perempuan berusia 70-an. Dia menopang dirinya dengan tongkat saat berjalan di komunitas Pajiek yang baru didirikan di negara bagian Jonglei di utara ibu kota, Juba.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, banjir memaksanya untuk mengungsi. Upayanya untuk melindungi rumahnya dengan membangun tanggul gagal. Bekas desanya, Gorwai, sekarang menjadi rawa.
"Saya harus diseret dengan kano ke sini," kata Chuiny. Seorang jurnalis AP adalah orang pertama yang mengunjungi komunitas tersebut.
Banjir seperti itu menjadi bencana tahunan di Sudan Selatan, yang oleh Bank Dunia digambarkan sebagai "negara paling rentan di dunia terhadap perubahan iklim dan juga yang paling kurang dalam kapasitas penanggulangannya."
Lebih dari 379.000 orang telah mengungsi akibat banjir tahun ini, menurut badan kemanusiaan PBB.
Banjir musiman telah lama menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat penggembala ternak di sekitar Sudd, lahan basah terbesar di Afrika, di dataran banjir Sungai Nil. Namun sejak tahun 1960-an rawa tersebut terus meluas, menenggelamkan desa-desa, merusak lahan pertanian, dan membunuh ternak.
"Masyarakat Dinka, Nuer, dan Murle di Jonglei kehilangan kemampuan untuk memelihara ternak dan bertani di wilayah itu seperti dulu," kata Daniel Akech Thiong, analis senior di International Crisis Group.
Sudan Selatan kurang siap untuk beradaptasi. Negara yang merdeka sejak 2011 ini terjerumus dalam perang saudara pada 2013. Meskipun ada kesepakatan damai pada 2018, pemerintah gagal mengatasi berbagai krisis. Sekitar 2,4 juta orang masih mengungsi di dalam negeri akibat konflik dan banjir.
Luapan Sungai Nil terbaru ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pembukaan bendungan di hulu Uganda setelah Danau Victoria mencapai level tertinggi dalam lima tahun.
Kanal Jonglei yang berusia seabad, yang tidak pernah selesai dibangun, telah menjadi tempat berlindung bagi banyak orang.
“Kami tidak tahu sampai sejauh mana banjir ini akan membawa kami jika kanal ini,” kata Peter Kuach Gatchang, kepala suku Pajiek. Ia sudah menanam labu dan terong di kebun kecil di rumah barunya.
Kanal Jonglei sepanjang 340 kilometer (211 mil) pertama kali dibayangkan pada awal 1900-an oleh otoritas kolonial Inggris-Mesir untuk meningkatkan aliran Sungai Nil menuju Mesir di utara. Namun, perkembangannya terganggu oleh pertikaian panjang warga Sudan selatan melawan rezim Sudan di Khartoum yang akhirnya berujung pada pembentukan negara terpisah.
Gatchang mengatakan komunitas baru di Pajiek terabaikan: "Kami tidak punya sekolah dan klinik di sini, dan jika Anda tinggal beberapa hari, Anda akan melihat kami membawa pasien kami dengan tandu ke kota Ayod."
Ayod, kantor pusat daerah, dapat dicapai dengan berjalan kaki selama enam jam melalui air setinggi pinggang.
Pajiek juga tidak memiliki jaringan seluler dan tidak ada pemerintahan. Daerah tersebut berada di bawah kendali Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (Oposisi, yang didirikan oleh saingan Presiden Salva Kiir yang kini menjadi Wakil Presiden Riek Machar).
Penduduk desa bergantung pada bantuan. Pada suatu hari baru-baru ini, ratusan perempuan mengantre di ladang terdekat untuk menerima sebagian bantuan dari Program Pangan Dunia (WFP).
Nyabuot Reat Kuor berjalan pulang sambil membawa sekantong sorgum seberat 50 kilogram (110 pon) di kepalanya.
“Banjir ini telah menghancurkan pertanian kami, membunuh ternak kami, dan membuat kami mengungsi selamanya,” kata ibu delapan anak itu. “Desa lama kami, Gorwai, telah berubah menjadi sungai.”
Ketika bantuan pangan habis, katanya, mereka akan bertahan hidup dengan daun-daun liar dan bunga lili air dari rawa. Dalam beberapa tahun terakhir, jatah bantuan pangan telah dipotong setengah karena pendanaan internasional untuk krisis semacam itu menurun.
Lebih dari 69.000 orang yang telah bermigrasi ke Terusan Jonglei di daerah Ayod terdaftar untuk mendapatkan bantuan pangan, menurut WFP.
“Tidak ada jalan yang dapat dilalui saat ini, dan terusan itu terlalu rendah untuk menampung perahu yang membawa banyak makanan,” kata John Kimemia, koordinator penerjunan udara WFP.
Di desa Paguong yang berdekatan yang dikelilingi oleh tanah yang terendam banjir, pusat kesehatan hanya memiliki sedikit persediaan. Tenaga medis belum dibayar sejak Juni karena krisis ekonomi yang telah menyebabkan pegawai negeri sipil di seluruh negeri tidak dibayar selama lebih dari setahun.
Kesulitan ekonomi Sudan Selatan semakin parah dengan terganggunya ekspor minyak setelah jaringan pipa utama rusak di Sudan selama perang saudara yang sedang berlangsung di negara itu.
“Terakhir kali kami mendapatkan obat-obatan adalah pada bulan September. Kami mengerahkan para perempuan untuk membawanya dengan berjalan kaki dari kota Ayod,” kata Juong Dok Tut, seorang petugas klinis.
Para pasien, kebanyakan perempuan dan anak-anak, duduk di tanah sambil menunggu dokter datang. Kepanikan melanda kelompok itu ketika seekor ular hijau tipis lewat di antara mereka. Ular itu tidak berbisa, tetapi banyak ular lain di daerah tersebut. Orang-orang yang pergi ke air untuk memancing atau mengumpulkan bunga lili air berada dalam risiko.
Empat kasus gigitan ular yang mengancam jiwa terjadi pada bulan Oktober, kata Tut. “Kami menangani kasus-kasus ini dengan perawatan anti bisa yang kami miliki, tetapi sekarang sudah habis, jadi kami tidak tahu apa yang harus dilakukan jika hal itu terjadi lagi.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Azerbaijan Yakin Rudal Rusia Yang Jatuhkan Pesawatnya di Kaz...
BAKU, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang Azerbaijan yakin jatuhnya pesawat Azerbaijan Airlines di Kazak...