Banjir Jakarta dan Sampah Politik Kita
SATUHARAPAN.COM-Banjir besar yang melanda ibu kota Jakarta dan sekitarnya, tampaknya bukan hanya mengungkap banyak sampah yang menyumbat sungai dan saluran air, tetapi juga sampah-sampah dalam pengelolaan kota dan permukiman, bahkan sampah dari proses politik sebelumnya.
Banyak berita yang mengungkapkan kerugian dan penderitaan warga akibat banjir di awal tahun 2020 ini. Media sosial juga dipenuhi oleh rekaman video, gambar, dan tulisan tentang situasi itu, bahkan banyak yang berisi pernyatan yang menyalahkan pemerintah daerah Jakarta. Tentu saja, Anies Baswedan sebagai gubernur berada pada pusat papan bidikan kritik.
Kritikan yang dilontarkan bukan hanya disertai saran perbaikan, namun banyak juga yang mengritik secara sinis, atau malahan disertai desakan agar Anies mundur dari jabatannya. Kritik itu juga banyak yang menggunakan pernyataan Anies Baswedan sendiri untuk secara terbalik jadi alat untuk menyerang dia.
Melihat pembacanya dan komentar yang disampaikan oleh nitizen, berita dan informasi ini tampaknya cukup dominan di dalam negeri, bahkan sebarannya sampai ke luar Jakarta dan dalam skala nasional.
Di sisi lain, pihak-pikah pembela Anies juga tidak ambil diam. Mereka juga gencar dengan argumentasinya, membela bahwa Anies telah menjalankan tugas sebagai gubernur dengan baik, bahkan ada yang menyebut sebagai melampaui itu. Serangan balik dilakukan dengan kelompok ini menyalahkan pemerintah pusat atau pihak lain.
Perang membela dan mengritik Anies dalam konteks bencana banjir di Jakarta bahkan sudah pada tudingan yang lebih jauh dan serius. Ada pihak yang menuding media dan kelompok tertentu dibayar untuk membela dan menmbangun pencitraan Anies. Sebaliknya, para pengritik Anies juga dituding sebagai melakukan itu karena dibayar oleh pihak tertentu.
“Perang pernyataan” di media sosial ini tampaknya akan terus berlanjut, apalagi ada pihak yang menyebut dan mengaitkan dengan pemilihan gubernur Jakarta yang masih tiga tahun lagi, bahkan juga pemilihan Presiden yang masih lebih dari empat tahun lagi.
Mengungkap Segregasi Masyarakat
Melihat fenomena ini, terutama dalam hal pihak-pihak yang terlibat dalam “perang pernyataan” di media massa dan media sosial, menunjukkan bahwa orang-orang dan kelompok-kelompok yang terlibat tampaknya juga orang-orang dan kelompok yang terlibat “perang pernyataan” di sekitar pemilihan gubernur Jakarta, di mana Anies dinyatakan sebagai calon terpilih. Hanya saja, ada sebagian pihak tertentu, dan tsk perlu disebut, yang sedang “mati kutu” kehabisan “pe;uru argumentasi” untuk masuk dalam “perang pernyataan” ini.
Amatan ini, tentu saja akan lebih gamblang, kalau ada lembaga kajian yang bisa melakukan dan mengungkapkannya. Sebab, hal ini memberi indikasi kuat bahwa segregasi masyarakat yang terjadidi atau dipertajam dalam proses politik, dalam hal ini pemilihan gubernur Jakarta, ternyata tidak serta merta “pulih” setelah hasil pemilihan diumumkan, disahkan dan diterima. Banjir besar di Jakarta awal tahun itu seperti perban yang membungkus luka, dan dibuka. Dan ternyata luka itu masih menganga.
Hal ini terlihat sekali bahwa janji dan argumentasi Anies dalam kampanye pemilihan gubernur, diangkat kembali untuk mengritik dia. Ini tentu saja hal yang sah, karena janji dalam kempanye bisa ditempatkan sebagai kontrak sosial, dan alasan untuk mendorong orang memilih dia. Namun media sosial juga banyak mengaitkannya dengan rival Anies pada pemilihan itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bisa dikatakan bahwa media sosial di seputar bencana banjir Jakarta menjadi “pertempuran” kedua antara pendukung calon gubernur Jakarta (ketika itu), Anies dan Ahok. Dan ikut “nimbrung” juga adalah mereka yang gerah dengan politisasi agama, dan penggunaan kebencian sektarian dalam proses politik.
Cara Sembrono
Berita-berita seperti itu di media massa dan media sosial tentang bencana banjir di Jakarta menunjukkan bahwa prosespolitik bisa menjadi proses yang tajam dalam memecah masyarakat. Namun memulihkan dari segregasi itu ternyata tidak mudah, kalau tidak dikatakan bahwa memang tidak terlihat ada upaya untuk memulihkan.
Itu berarti bahwa tindakan-tindakan dalam proses politik di masa lalu yang merusak kohesi masyarakat dan bangsa, adalah tindakan yang gegabah dan sembrono. Ini tindakan yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Jika cara seperti ini terus digunakan, bukan hanya Jakarta, tetapi Indonesia juga terus dirundung ancaman perpecahan dari dalam diri sendiri.
Respons masyarakat tentang bencana banjir di Jakarta yang dengan kuat dikaitkan dengan proses pemilihan gubernur sebelumnya, harus menjadi pelajaran untuk tidak gegabah dengan politisasi agama dan ujaran kebencian dalam proses politik. Untuk mencegah hal ini berulang, bangsa Indonesia harus tegas untuk meninggalkan praktik demikian yang digunakan oleh politisi kerdil pada setiap dan semual level proses politik kita.
Editor : Sabar Subekti
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...