Banyak Akun Anonim, Polri Akui Kesulitan Tangani Ujaran Kebencian
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Fadil Imran mengemukakan pihak kepolisian sejak lama menangani kasus yang berkaitan dengan ujaran kebencian, namun pihaknya mengaku kewalahan dengan banyaknya akun anonim (tanpa nama) di sejumlah media sosial seperti Facebook dan Twitter.
“Saat ini di Indonesia banyak akun anonim, anonomitias orang Indonesia ini tinggi sekali, karena orang Indonesia ini menganggap dunia maya ini tidak ada aturannya, dan bisa ngomong apa aja, dan sebenarnya ada etiket yang melekat di dunia maya sama seperti di dunia nyata,” kata Fadil Imran saat memberi materi dalam Diskusi Publik: “Penebaran Kebencian, Problem Intoleransi dan Peranan Penegak Hukum”, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, hari Senin (27/2).
Fadil mengatakan banyaknya akun anonim di Twitter dan Facebook di Indonesia, juga digunakan orang yang menyebarkan ujaran kebencian.
Dia menyarankan kepada masyarakat terutama generasi muda yang aktif dalam dunia maya atau digital, agar membangun iklim kondusif dalam dunia maya.
“Kita juga sudah melakukan penanganan penanganan khususnya online hate speech yang menggunakan media sosial, dan Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia dalam hal pengguna Facebook dan, Twitter,” kata dia.
Dia mengatakan – berdasar kajian ilmiah direktorat yang dia pimpin – sebagian besar pengguna Twitter dan Facebook di Indonesia menggunakan akun tersebut untuk berbincang santai atau ngerumpi.
Dia mengatakan penyelidikan dan penyidikan kasus kejahatan siber masih merupakan fenomena yang relatif baru, sehingga metode yang digunakan masih dikembangkan dan diuji.
“Sementara itu cara atau teknik yang berkembang dan digunakan ternyata masih sangat bervariasi di antara penyidik, instansi, perusahaan, dan dalam situasi yang berbeda,” kata dia.
Dia menyadari bahwa dengan memanfaatkan teknologi, maka polisi sesungguhnya memiliki kemampuan melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun upaya ini tidak mudah dengan mengingat bahwa bukti kejahatan digital dapat dihilangkan dengan mudah oleh pelaku.
“Polisi sering kali menjadi sangat bergantung pada perangkat lunak untuk melacak digital movement dari seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kejahatan siber, selain itu polisi juga sering menjadi frustrasi ketika berhadapan dengan masalah jurisdiksi, batas negara tempat terjadinya kejahatan dan keberadaan korban,” kata dia.
Dia mengemukakan kepolisian saat ini sedang mengembangkan pengawasan tentang keberagaman Indonesia, yang jika tidak diamati maka dia khawatir, setiap saat provokasi akan muncul dan berkembang menjadi tindakan anarki.
Fadil mengisahkan kembali saat masih bertugas di Polda Metro Jaya, saat itu dan hingga kini masih ada program “Protecting Child On Internet”.
Dia menjelaskan program tersebut salah satunya mengkampanyekan orang tua yang melakukan pendampingan penggunaan gadget terhadap anak-anak.
“Karena waktu itu salah satu materi pentingnya adalah memberi pengertian kepada orang tua, jangan kita merasa sebagai orang tua merasa kurang kekinian kalau anaknya tidak memiliki gadget,” kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...