Batik dalam Daur Hidup Manusia
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekar Jagad pada perhelatan Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2018 memamerkan karya batik dengan motif klasik serta motif wayang dalam beberapa sekuel/babad di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pameran batik bertajuk "Daur Hidup, Batik Filosofi, dan Batik dalam Kehidupan" berlangsung 2-6 Oktober 2018. Karya batik klasik yang dipamerkan Sekar Jagad berkaitan dengan upacara tradisi (daur hidup) sementara karya batik wayang merupakan interpretasi dari babad/sekuel yang ada dalam kitab Mahabharata dengan penggunaan motif-motif pakem.
Dalam kebudayaan Jawa-Yogyakarta dikenal adat dan tradisi. Adat merujuk pada sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat tertentu. Adat yang berisi nilai dan norma tertentu yang melembaga menuntut ketaatan dari komunitas pendukungnya.
Ami Suradal dari PPBI Sekar Jagad kepada satuharapan.com Sabtu (6/10) sore menjelaskan bahwa pengenaan kain batik dalam upacara adat daur hidup manusia, upacara tradisi, maupun batik wayang menjadi gambaran khasanah batik klasik yang sangat beragam mengingat setiap prosesi digunakan kain batik dengan motif yang beragam.
"Saat ini anggota PPBI Sekar Jagad sekitar 1.000-an yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Anggotanya terbuka tidak harus pengrajin/pengusaha batik ataupun pecinta batik. Semua orang bisa menjadi anggota. Di PPBI kita melakukan pelatihan, workshop, diskusi tentang segala hal berkaitan dengan batik. Untuk pelatihan membatik kita memberikan materi mulai dari awal hingga pewarnaan dan peng-lorotan. Adanya anggota dari berbagai latar belakang yang berbeda turut mempengaruhi perkembangan batik di Sekar Jagad," kata Ami.
Meski begitu Ami menjelaskan bahwa motif-motif batik klasik sejauh tetap dipertahankan dan diperkenalkan kepada setiap anggota dan masyarakat luas sebagai bagian pelestarian motif-motif batik klasik.
Salah satu syarat dalam upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup manusia adalah pengenaan batik sebagai bagian prosesi ritual upacara. Setiap tahapan memiliki jenis motif batik yang berbeda. Secara garis besar Sekar Jagad mengelompokkan ke dalam lima bagian yaitu kehamilan, kelahiran, inisiasi, perkawinan, dan kematian.
Dihubungi terpisah sosiolog Widya Mataram Yogyakarta Puji Qomariyah kepada satuharapan.com dalam perbincangan Rabu (3/10) menjelaskan bahwa pengenaan batik dalam upacara tradisi yang masih ada di Yogyakarta dalam konteks hari ini selain memiliki nilai budaya sekaligus memiliki nilai ekonomi yang cukup menjanjikan.
"Dalam dunia yang terhubung, prosesi/ritual adat yang terdokumentasi serta disebar dalam dunia berjejaring saat ini seolah menjadi keharusan. Pengalaman-pengalaman tersebut akan turut mengikuti perjalanan hidup seseorang dari kelahiran, anak-anak, remaja, perkawinan, mengandung, dan proses selanjutnya. Pada awalnya mungkin semacam eksistensi ataupun pengakuan. Namun ketika itu bersumber pada akar tradisi yang sesungguhnya telah lama ada, ini akan menjadi hal menarik seturut dengan pengembangan budaya-tradisi yang telah ada. Kalau pun suatu saat ada komodifikasi atas ritual tradisi yang sudah ada, saya rasa itu merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dan tidak akan mengurangi nilai-nilai lama yang pernah ada," kata Puji Qomariyah.
Pada daur kehamilan misalnya yang dimulai dari misani (sebulan), mindoni (dua bulan), neloni (tiga bulan), nglimani, tingkeban/mitoni (tujuh bulan), hingga procotan, setiap tahapan ibu hamil mengenakan kain batik dengan motif yang berbeda. Pada upacara mitoni misalnya melengkapi hidangan Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya, dikenakan kain batik oleh ibu hamil dengan motif Babon Nglubuk, Babon Angrem, Sidoasih, Semen Huk, Semen Ageng, Semen Gegot, Semen Rama, Grompol, Nagasari, Sidomulyo, Sidoluhur.
Ritual untuk anak pertama pada ritual mitoni adalah siraman, memasukkan telor ayam kampung di dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon bapak, ganti baju tujuh kali, brojolan (memasukkan kelapa gading muda), memutus benang lawe atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri telor dan terakhir kenduri.
Pada ritual inisiasi anak laki-laki berupa khitanan yang bertujuan memohon keselamatan dan harapan agar anak tersebut kelak memiliki keturunan. Supitan dilaksanakan pada waktu pagi atau sore hari yang dihadiri oleh si anak, ulama laki-laki, orang tua, juru supit/bong, dan tetangga terdekat. Terdapat makanan pantangan yang harus dihindari yaitu makanan yang berbau amis. Saat supitan, anak laki-laki mengenakan kain batik dengan motif Parang Parikesit, Parang Gondosuli, Grinsing Bintang, Udan Liris.
Sementara pada ritual inisiasi anak perempuan berupa tetesan yang diadakan pada waktu malam hari dan dihadiri oleh anak tetesan, ayah-ibu, famili dan tetangga terdekat. Upacara diawali dengan mandi air kembang setaman sebelum proses inisiasi dimulai. Saat tetesan, anak perempuan mengenakan kain batik dengan motif Kawung Picis Sudarawerti, Grinsing Lindri, Ceplok Keci, Ceplok Sri Dento.
"Nilai dan norma yang terkandung dalam suatu adat diekspresikan dalam bahasa, tutur kata, gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara, hukum, atau serangkaian perbuatan tertentu yang dianggap sebagai suatu aktivitas yang memang patut, bahkan harus, dilakukan. Upacara adat yang telah menjadi tradisi amat luas cakupannya, diantaranya berkenaan dengan daur hidup manusia, peribadatan keagamaan, dan persahabatan manusia dengan alam," jelas Puji Qomariyah.
Lebih lanjut Puji Qomariyah menjelaskan bahwa upacara adat yang berkenaan dengan daur hidup manusia dimulai dari ketika manusia masih berbentuk janin berusia tujuh bulan (mitoni; tingkeban), lahir (brokohan), putus tali pusarnya (pupak puser; puputan) pemberian nama (njenengi), aqiqah (kékahan), turun ke tanah (tedhun lemah; tedhak sitèn), khitanan anak laki-laki (sunatan; supitan) dan perempuan (tetesan), menikah (omah-omah), dan meninggal dunia (tilar donya) dengan segala rangkaian upacara setelahnya. Di samping upacara daur hidup, terdapat pula upacara ruwatan, yakni suatu upacara yang dimaksudkan untuk “membersihkan” pengaruh buruk (sukerta) yang mungkin timbul pada diri seseorang.
"Setiap pelaksanaan upacara adat memerlukan sejumlah syarat tertentu, baik para pelaku, waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé). Suatu upacara adat akan memiliki nilai yang tinggi apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ini menarik ketika dikaitkan dengan penggunaan properti kain batik sebagai pelengkap upacara. Bisa dibayangkan potensi ekonomi yang bisa tergerakkan dari prosesi upacara adat-tradisi terlebih setiap daerah memiliki khasanah batik yang unik dan beragam. Ada potensi pengembangan (ekonomi, desain/motif) di sana," imbuh Puji Qomariyah yang dalam beberapa tahun terakhir bergiat meneliti batik pesisiran pantai utara Jawa khususnya batik tulis Lasem.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...