Bekerja Etis? Capek, Deh….
Langkah pertama dalam evolusi etika adalah kesadaran solidaritas antarsesama makhluk hidup (Albert Schweitzer)
SATUHARAPAN.COM – Hidup beretika memang melelahkan. Serasa terpenjara. Khususnya di tempat kerja. Selalu harus produktif, memenuhi tuntutan pekerjaan, sementara apa pun yang disukai tidak bisa dilakukan. Selalu saja perlu mempertimbangkan orang lain, bukan mempertimbangkan diri sendiri. Sementara itu, di luar sana orang yang hidup tidak beretika malah sejahtera, banyak teman, dihargai. Etika itu bisa jadi penjara sosial, penjara ekonomi. Benarkah tak ada untungnya menjalani hidup beretika?
Beginilah kenyataannya. Orang yang menjalani hidup beretika—yang ditunjukkan dengan integritas, disiplin, menjadi anggota team yang kooperatif, bekerja produktif—tidak akan pernah luput dari pandangan mereka yang ada di sekitarnya. Orang yang tidak pernah terlambat hadir, mereka yang selalu menyelesaikan pekerjaannya tanpa tertunda dan tanpa mengganggu orang lain, mereka yang bahkan melakukan lebih dari apa yang diminta, mereka jugalah yang akan dipilih ketika ada kesempatan untuk dilibatkan lebih dalam atau pada posisi yang lebih tinggi di tempat kerja. Bukan hanya sebagai di tempat kerja sebagai pekerja, melainkan juga sebagai wirausahawan. Pastilah mereka yang bisa diandalkan dalam berusaha adalah mereka yang akan dicari orang lain untuk menjadi mitra kerja.
Kuncinya: bisa diandalkan. Dan dari mana keterandalan itu muncul? Salah satu yang paling penting adalah dari menghargai orang lain. Karena menghargai orang lain, maka ada keinginan keras untuk tidak menyakiti, tidak mengecewakan orang lain. Ada dorongan untuk memuaskan orang lain.
Nah, mengenai urusan menghargai orang lain ini kita bisa belajar banyak dari budaya bangsa Jepang. Bangsa Jepang adalah bangsa yang dikenal dengan etika yang sangat baik. Secara prinsip, menghargai orang lain adalah hal yang paling utama dalam budaya mereka. Karena menghargai orang lain, maka selalu diupayakan untuk tidak menyakiti, tidak mempersulit, tidak merebut hak orang lain, selalu mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri.
Ingatkah bagaimana kita terkesima ketika pasca tsunami Jepang tahun 2011, seorang anak kecil memberikan hak antrean makannya kepada seorang nenek, dan berkata kepada nenek itu, ”Nenek lebih membutuhkannya daripada saya.” Itulah satu contoh dari sikap menghargai orang lain, yang secara nyata dipraktikkan dalm hidup sehari-hari.
Lalu kita bertanya lagi: di mana upahku ketika melakukan itu? Bukankah di sekitar kita di Indonesia ini yang ada adalah saling berebut, saling mencelakakan, takut tak kebagian? Saya bertanya kepada sejumlah mahasiswa yang sedang belajar beretika, ”Di manakah upahmu?” Yang mereka sampaikan adalah dalam ketenangan hati nurani karena telah melakukan yang seharusnya dilakukan. Dan itu adalah yang benar, yang baik dan yang tepat untuk dilakukan.
Jadi selain mendapat tempat di hati dan pikiran orang sekitar, mereka yang beretika juga menikmati ketenangan jiwa karena meyakini telah melakukan yang terbaik dalam hidup.
Setiap saat tantangan etis dalam hidup akan muncul. Dalam setiap keputusan menjawab tantangan itu, maka yang benar, yang baik dan yang tepat, itulah yang minimal perlu dicari. Tentu lebih sering tak bisa terpenuhi karena manusia penuh dengan kelemahan, dan godaan untuk mendapatkan kenikmatan selalu menghampiri.
Namun, titik yang ingin diraih jangan pernah dilepaskan. Jangan pernah mengalah kepada standar yang lebih rendah. Jika itu yang selalu dicari, dan semakin sering dipraktikkan, maka niscaya semakin tenanglah jiwa.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...