Loading...
OPINI
Penulis: Albertus Patty 13:25 WIB | Minggu, 02 Mei 2021

Belajar dari Kasus Rasisme di Amerika Serikat

Anak-anak menghadiri acara pada 17 Maret di Clemente Park di Lowell, Massachusetts, untuk para korban penembakan di Atlanta yang dilarabelakangi rasisme. (Foto: Erin Clark/The Boston Globe)

SATUHARAPAN.COM-Meningkatnya persoalan rasisme di Amerika Serikat sangat memprihatinkan kita semua. Persoalan ini menuntut kita untuk melakukan antisipasi secepat mungkin sebelum persoalan rasisme di AS itu merambat ke negeri-negeri lain, termasuk Indonesia.

Albertus Patty. (Foto: dok. Pribadi)

 

Di AS rasisme terhadap ras African-American atau kaum Black belum tuntas total. Kini muncul kasus baru yaitu rasialisme terhadap kaum Asian.

Penyebab kedua kasus ini sangat berbeda. Rasisme terhadap kaum Black muncul karena nafsu hegemoni kaum White dan kapitalisme untuk memperoleh buruh gratis.

Rasisme terhadap Asian muncul karena paling sedikit dua aspek. Pertama, berjayanya perekonomian negara China. Aspek kedua, etnik Asia yang berdomisili di AS secara ekonomi cukup berhasil. Kebanyakan mereka menduduki posisi kelas menengah. Tetapi di beberapa kota besar seperti di San Francisco dan Hawaii, kaum Asian mendominasi ekonomi. Situasi ini menimbulkan rasa ketidakberdayaan kaum kulit putih. Ini yang dimanipulasi Trump untuk kepentingan politiknya.

Tetapi ada realitas baru yang muncul. Sedang terjadi perubahan yang dahsyat. Kedigdayaan AS sedang runtuh. Dominasi dan hegemoni kaum White di segala bidang kehidupan, terutama di bidang ekonomi, mulai goyah. Emansipasi ras dan etnik lain dalam segala bidang, termasuk ekonomi, mulai bermunculan. Dan ini menakutkan kaum manapun yang selama ini menikmati privelege dan terbenam dalam comfort zone.

Kini, kita hidup dalam suatu 'dunia' yang frustrasi terhadap berbagai perubahan yang radikal. Ada disrupsi dalam segala aspek kehidupan. Disrupsi ini mempengaruhi dan menentukan masa depan kita bersama. Sebagian orang merespons disrupsi ini secara negatif. 

Di berbagai negara makin nampak menguatnya penggumpalan identitas. Orang menyebutnya gerakan ini dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya sebagai populisme. Ami Chua, seorang professor hukum dari Yale University, menyebutnya sebagai political tribes. Beberapa sosiolog lain menyebutnya sebagai nasionalisme etnik. Intinya adalah gerakan rakyat yang bersifat primordialisme baik etnik maupun agama yang cenderung memecah-belah suatu bangsa.

Di banyak negara seperti di India, Turki, bahkan Amerika Serikat gerakan populisme menguat justru karena didukung oleh penguasa atau oleh partai politik yang berkuasa.

Sebagian lain meresponsnya dengan positif dan kreatif. Dan memang, masa depan itu harus kita rajut bersama. Semua harus berpartisipasi. Konteks yang baru ini memaksa kita semua meresponsnya secara cepat tetapi kreatif, positif dan strategik. Kita harus memulainya dengan membangun sikap positif terhadap sesama yang berbeda, baik etnik dan terutama terhadap mereka yang berbeda agama. Berbagai krisis yang kita semua hadapi seperti pandemi COVID-19, krisis ekologi, krisis ekonomi terutama karena semakin besarnya gap antara yang kaya dan yang miskin, memaksa kita semua untuk bekerja sama untuk kebaikan bersama.

Warisan tradisi agama masa lalu yang merendahkan dan memusuhi kelompok agama yang berbeda harus kita kritisi dan kita buang jauh-jauh. Tembok dan sekat pemisah harus kita runtuhkan. Warisan kebencian itu bukan saja menjadi penyebab konflik dan pertikaian kita pada masa kini, tetapi juga telah mendegradasi kemanusiaan kita sendiri. Agama-agama harus menggeser fokus: dari ketertawanan pada masa lalu menjadi fokus pada pembentukan masa depan bersama.

Tantangan dunia yang semakin multi kompleks harus dihadapi dengan habitus baru yaitu solidaritas yang egaliter dan komplementer. Secara ekonomi, kita harus belajar berbagi. Kesenjangan ekonomi yang tinggi adalah bagaikan 'bom nuklir' yang berpotensi menghancurkan masa depan kita bersama.***

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home