Belajar Hidup Kekal
SATUHARAPAN.COM – ”Umat-Ku, apakah yang telah Kulakukan kepadamu? Dengan apakah engkau telah Kulelahkan? Jawablah Aku” (Mi. 6:3). Demikianlan pertanyaan Tuhan kepada umat Israel.
Tampaknya, pada waktu itu Israel telah salah konsep berkait dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Bisa jadi mereka merasa terbebani dengan segala aturan itu. Padahal aturan diadakan agar umat sungguh-sungguh diperkenan Tuhan. Sejatinya Tuhan tidak menuntut apa pun, ”selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu” (Mi. 6:8).
Tak hanya umat Israel, tak sedikit orang Kristen merasa bahwa Allah mengikat mereka dengan segala aturan. Padahal aturan itu dimaksudkan agar umat Allah tetap layak hidup di hadapan Allah. Umat Allah ada standarnya. Tidak hidup seturut standar malah aneh.
Dan Yesus orang Nazaret—melalui khotbah di Bukit—menegaskan kembali bagaimana hidup sebagai umat Allah. Salah satunya: ”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3).
Yang dimaksud dengan ”orang yang miskin di hadapan Allah” adalah setiap orang yang menggantungkan harap hanya kepada Allah. Kecuali Allah, tak ada yang dijadikannya tempat bersandar. Diri sendiri pun tidak. Dan kepada mereka dijanjikan Kerajaan Surga.
Menarik disimak bahwa dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Beruntunglah kalian kalau merasa sangat memerlukan Tuhan. Kalian adalah umat Tuhan.” Kerajaan surga bukanlah sekadar tempat, tetapi relasi antara Allah dan umat-Nya. Dan relasi ini bersifat kekal karena Allah adalah Sumber Hidup.
Dengan demikian, ucapan berbahagia dimaksudkan agar setiap orang yang percaya kepada Allah sungguh-sungguh bahagia di kekekalan nanti. Menerapkan Khotbah di Bukit berarti pula belajar hidup kekal.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...