Belajar untuk Kalah
Pelajaran untuk bersedia kalah sesungguhnya adalah pelajaran yang amat berharga bagi hidup siapa pun.
SATUHARAPAN.COM – Belajar untuk menang itu mudah. Setiap orang sejak dini diajarkan, didorong, kadang dipaksa, untuk menang. Lihatlah kebiasaan sekolah kita, dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Setiap menerima laporan hasil belajar, pasti siapa-siapa yang menduduki peringkat tinggi akan menjadi bahan pembicaraan. Bahkan sampai kelulusan S3 kita mengenal istilah cum laude, dengan pujian. Berarti, keberhasilan tingkat tinggi.
Keberhasilan membuat orang bangga, punya keberanian untuk bertarung di tahap berikutnya. Keberhasilan membawa ketenaran, keberhasilan membuat hati senang.
Akan tetapi, berapa sering kita mendengar ada pendidikan untuk menerima kekalahan? Beberapa puluh tahun lalu ketika anak saya masih sekolah di TK Pak Kasur, bapak—yang merupakan pakar pendidikan anak ”dari sononya” alias autodidak ini—akan mengumpulkan para orang tua yang mendampingi anaknya, sebelum sebuah pertandingan dimulai.
”Ini adalah pelajaran untuk kalah, bukan pelajaran untuk menang.” Kira-kira begitu yang beliau ajarkan. Lalu beliau mulai dengan membekali para orang tua mengenai apa makna kekalahan dan bagaimana itu dapat dijadikan pelajaran hidup. Pak Kasur memang pakar pendidikan legendaris. Berapa sering kita mendengar di sekitar kita di masa kini, kekalahan menjadi bahan pembicaraan. Pelajaran untuk bersedia kalah sesungguhnya adalah pelajaran yang amat berharga bagi hidup siapa pun.
Bicara mengenai kekalahan, bukan berarti semata kalah dari orang lain. Justru tak berani kalah atas diri sendiri, itulah yang paling sering mencelakakan.
John Maxwell menuliskan buku tentang kekalahan. Dan prinsip utama yang diajarkannya adalah bahwa dari kekalahan orang belajar paling banyak. Kemenangan membuai, tetapi kekalahan memberi pelajaran hidup. Kemenangan akan kita masukkan ke dalam saku, sementara kekalahan akan kita masukkan ke dalam hati.
Sekalipun demikian, demi tidak mengalami kekalahan, orang sering kali menghindari pertarungan. Daripada kalah, lebih baik tak ikut bertanding. Akibatnya, tak pernah mendapatkan pelajaran dari kekalahan.
Apa yang menyebabkan orang takut kalah? Menurut John Maxwell, ada 11 jebakan yang membuat orang tidak kuasa menanggung kekalahan dan karena itu tak berani berjuang:
- Jebakan Kesalahan: ”Saya takut melakukan kesalahan.” Takut dimarahi, takut menderita, takut kehilangan semangat untuk berjuang lagi. Takut tidak lagi populer.
- Jebakan Kelelahan: ”Saya lelah hari ini.” Kekalahan mengancam stamina. Jadi daripada kehilangan stamina, lebih baik tak memulai pertarungan.
- Jebakan Pembandingan: ”Orang lain lebih baik daripada saya.” Kekalahan menyebabkan diri merasa inferior terhadap orang lain. Kekalahan membuat orang jadi minder.
- Jebakan Waktu: ”Ini bukan waktu yang tepat.” Kekalahan menimbulkan keraguan.
- Jebakan Inspirasi: ”Saya tak merasa bersemangat untuk melakukannya sekarang.” Kekalahan mendemotivasi, menghilangkan semangat.
- Jebakan Rasionalisasi: ”Mungkin hal itu tak begitu penting.” Kekalahan bisa mengaburkan perspektif.
- Jebakan Kesempurnaan: ”Ada cara terbaik untuk melakukannya dan saya harus menemukan cara itu sebelum saya memulainya.” Kekalahan menimbulkan keraguan atas diri sendiri.
- Jebakan Ekspektasi: ”Kukira akan mudah, ternyata tidak.” Kekalahan menjadikan kesulitan besar dan menakutkan.
- Jebakan Keadilan: ”Bukan saya yang seharusnya melakukan ini.” Kekalahan menimbulkan pertanyaan ”mengapa harus saya?”
- Jebakan Opini Publik: ”Jika saya kalah, apa kata orang?” Kekalahan itu melumpuhkan.
- Jebakan Citra Diri: ”Jika saya kalah, maka saya adalah pecundang.” Kekalahan akan berpengaruh buruk terhadap citra diri.
Jadi, daripada kalah, lebih baik tak mengikuti pertandingan.
Sesungguhnya, kekalahan sering kali bukanlah akhir. Sebaliknya, kekalahan sering kali menjadi awal. Seperti kata Confusius: ”Jatuh itu biasa. Yang tidak biasa adalah jatuh lalu tidak bangkit lagi.”
Orang yang berhasil adalah mereka yang memandang kekalahan dengan cara yang benar. Mereka tidak lari dari kekalahan. Mereka juga tidak berpura-pura menutupi kekalahan dengan menguburnya di bawah karpet. Mereka tidak lari dari kekalahan. Mereka tidak bersikap: ”sesekali kita menang, sesekali kita kalah”, melainkan ”sesekali kita menang, sesekali kita belajar.” Karena di saat kalah, sebenarnya di sanalah pelajaran hidup terpenting diperoleh.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Film The Last Dance Pecahkan Rekor Box Office Hong Kong
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "The Last Dance", sebuah film drama berlatarkan rumah duka yang...