Belarusia Berlakukan Hukuman Mati untuk Melawan Kelompok Oposisi
MINSK, SATUHARAPAN.COM-Belarusisa memberlakukan hukuman mati sebagai upaya menangani tindakan terorisme, menurut kantor berita Rusia, hari Rabu (18/5). Itu juga tuduhan yang dihadapi beberapa aktivis oposisi di negara bekas Soviet itu.
Belarusia, sekutu dekat Rusia, adalah satu-satunya negara di Eropa yang terus melakukan eksekusi meskipun ada seruan untuk moratorium.
“Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, menandatangani undang-undang tentang kemungkinan hukuman mati untuk percobaan aksi teroris,” lapor kantor berita RIA Novosti, mengutip portal pemerintah online untuk informasi hukum. Dikatakan undang-undang itu akan mulai berlaku 10 hari setelah diterbitkan.
Pengadilan Belarusia di kota Grodno pada hari Rabu memulai sidang tertutup dalam kasus terhadap 12 aktivis yang dituduh "mempersiapkan tindakan terorisme," menurut kelompok hak asasi manusia Belarusia, Vyasna.
Di antara mereka adalah aktivis senior, Nikolai Avtukhovich, yang telah menjalani lebih dari tujuh tahun penjara. Pria berusia 59 tahun itu menghadapi serangkaian tuduhan lain, termasuk pengkhianatan.
Para aktivis dituduh membakar rumah dan mobil seorang polisi pada Oktober 2020 dan membakar mobil polisi lain pada November 2020, setelah protes bersejarah yang meletus di Belarusia atas sengketa pemilihan umum, yang membuat Lukashenko terus berkuasa.
Aktivis percaya bahwa Svetlana Tikhanovskaya, yang sekarang memimpin oposisi Belarusia dari pengasingan di Lithuania, adalah pemenang sejati dalam pemilihan Agustus 2020.
Maret lalu, jaksa Belarusia mendakwa Tikhanovskaya dengan "mempersiapkan tindakan terorisme sebagai bagian dari kelompok yang terorganisir," menurut kantor berita negara Belarusia Belta.
Amerika Serikat mengutuk UU itu rencana Belarusia untuk menerapkan hukuman mati terhadap lawan politik. Itu adalah langkah putus asa oleh Presiden Alexander Lukashenko untuk mempertahankan kekuasaan.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan undang-undang baru yang ditandatangani oleh Lukashenko untuk menggunakan hukuman mati untuk tindakan "teroris" sebenarnya ditujukan untuk aktivis pro demokrasi dan penentang perang Rusia di Ukraina.
"Rezim telah menggunakan tuduhan bermotif politik atas 'ekstremisme' dan 'terorisme' terhadap lebih dari 1.100 tahanan politik dan menggunakan label semacam itu untuk menahan puluhan ribu lainnya," kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
“Tindakan ini adalah tindakan seorang pemimpin otoriter yang putus asa untuk mempertahankan kekuasaan melalui ketakutan dan intimidasi,” katanya.
“Rezim Lukashenko terus menindas, termasuk melalui kekerasan dan amandemen KUHP baru-baru ini, terhadap gerakan pro demokrasi dan anti-perang di Belarus,” kata Blinken.
Dia menyerukan pembebasan tahanan politik “tanpa syarat” dan agar pemerintah mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil di bawah pengawasan internasional. (AFP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...