(Belum) Merdeka dan (Belum) Terdidik
SATUHARAPAN.COM - Merdeka! Pekik yang kembali terngiang, setidaknya di benak setiap mereka yang ikut merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Seiring membahananya pekik “merdeka” tersebut bermuncuulan wacana apa artinya merdeka? Apakah Indonesia, dengan kondisi masyarakatnya terkini, layak disebut merdeka? Tulisan ini mencoba memberikan alternatif jawaban terhadap 2 pertanyaan tersebut dalam konteks yang tidak terlalu besar.
Untuk jawaban pertanyaan pertama penulis meminjam tesis filsuf Amartya Sen yang sekaligus menjadi judul salah satu bakunya “Perkembangan Adalah Kemerdekaan”. Pernyataan ini berimplikasi bahwa seseorang atau sesuatu baru layak disebut merdeka jika mereka berkembang. Dalam prosesnya, perkembangan dan pengembangan secara fundamental dimotori oleh satu bidang: pendidikan. Maka selayaknya kualitas pendidikan nasional dijadikan tolak ukur menjawab pertanyaan kedua.
Mendengar frase “Pendidikan Nasional” di dalam rentang waktu saat ini sangat besar kemungkinan membawa memori publik kembali ke pada carut marut Ujian Nasional (UN) 2013. Apabila yang menjadi polemik UN sebelum-sebelumnya adalah kejujuran pelaksanaan dan kualitas hasil, maka UN 2013 menunjukkan borok terdalam pemerintahan: manajemen yang tidak profesional. Keterlambatan distribusi soal secara simultan terjadi di lebih dari 5 lokasi dan tersebar di Indonesia. Tidak adanya rencana cadangan memaksa beberapa wilayah menggunakan soal fotokopian, yang berimplikasi lebih besar kepada terjadinya kebocoran jawaban. Lebih parah, sebagian soal asli dibagikan menggunakan kualitas kertas yang tidak layak pakai.
Mengapa kegagalan terakhir jauh lebih menohok dibandingkan sebelum-sebelumnya? Dari segi program UN adalah program tahunan, yang berarti seharusnya pelaksanaan tiap tahun dibangun dari koreksi pelaksanaan tahun sebelumnya, terutama dalam soal-soal fundamental seperti penyediaan sarana. Dari segi dana, besarnya dana yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Kualitas kertas yang buruk, ketiadaan lembar soal, praktik kecurangan masal yang masih terjadi,dan besarnya tekanan yang dihadapi oleh murid.
Berkaca dari peristiwa itu, tentu rakyat mengharapkan tanggung jawab dari pemegang mandat pendidikan, yaitu Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh. Namun alih-alih pertanggungjawaban, M. Nuh justru mempertegas status quo sebagaimana sebelum-sebelumnya. Fakta murid-murid yang tertekan beserta ketidakprofesionalan manajemen digusur dengan gembar-gembor Kurikulum 2013. Belum cukup sampai di situ, 3 hari menjelang kemerdekaan ia masih berani menegakkan kepala menyongsong penyematan Mahaputra Adipradana dari Presiden RI (http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1616) atas prestasi di dalam bidang pendidikan Indonesia yang dianggap luar biasa.
Berkaca dari bagaimana keputusan MA mengenai UN dilabrak olehnya, sikapnya menerima penghargaan tersebut sesungguhnya sudah bisa ditebak dan diduga. Karena itu perhatian justru diberikan kepada sang pemberi penghargaan, yakni Presiden SBY.
Togog dadi ratu
Dunia pewayangan Jawa memiliki karakter bernama Togog. Ia merupakan antitesis dari Semar. Apabila Semar diberi peran sebagai penasihat para Pandawa berbekal wejangan arif bijaksana dan petunjuk yang tepat sasaran maka Togog diberi peran sebagai penasihat para Kurawa berbekal nasihat tong kosong dan arahan yang pada akhirnya selalu berujung kegagalan.
Indonesia saat ini adalah bagaikan dikepalai Togog. Berbeda dengan Petruk dadi ratu di mana Petruk berakhir sebagaimana raja-raja lalim novel romantis yang terjatuh ke dalam cengkraman harta, tahta, dan wanita, maka Togog justru membawa negara yang ia pimpin ke dalam lingkaran setan ketidakjelasan. Arahan dan aturan ada namun bukan demi mencapai kebaikan, petunjuk diberikan namun hanya tong kosong tanpa esensi.
Belum cukup kekecewaan yang dialami pembela HAM dan kesetaraan tanah air oleh tindak SBY menerima penghargaan Toleransi Internasional (yang pucuk dicinta ulam pun tiba langsung diserang balik dengan kasus Islam Syi’ah) kini presiden SBY menegaskan pula bahwa posisinya adalah tidak pro-pelajar. Lebih dari itu berkaca kepada sisi historis program Pendidikan Nasional, SBY menegaskan bahwa ia sama sekali tidak pro-Pancasila dan pro-penegakan hukum.
Sejak dipegang oleh M.Nuh, UN semakin menunjukkan potensinya sebagai pembentuk manusia yang homo homini lupus (manusia memangsa manusia), dan bukan si tu tou tumou tou (manusia yang memanusiakan sesamanya). Kasus Abrar dan ibunya yang didokumentasikan di dalam “Temani Aku, Bunda” adalah cermin degradasi peradaban manusia (homo) berkeadilan sosial (Sila ke-2 dan ke 5) yang jatuh serendahnya menjadi segerombolan serigala (pack of wolf) yang siap memangsa mereka yang tidak sejalan dengan mereka (homini lupus).
Ing ngarsa sing tuladha (Yang di depan memberi contoh). Bagaimana pendidik dan pelajar di akar rumput tidak terdegradasi sedemikian rupa? Menelusur lebih jauh ke masa lalu, di tahun 2010 M. Nuh memberikan contoh bahwa UN pun mengatasi hukum. Keputusan MA bahwa UN tidak boleh dilaksanakan sampai ada perbaikan kualitas pelaksanaan pun dilabrak.
Berkaca dari segala kasus di atas pemberian anugerah Mahaputera Adipradana kepada Mendiknas M. Nuh oleh Presiden SBY semakin menegaskan untuk saat ini pendidikan hanyalah sebuah program mainan pemerintah semata untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa alih-alih untuk menumbuhkembangkan potensi rakyat, sebagaimana Togog yang mengemban peran sebagai penentu kebijakan dengan tujuannya adalah kegagalan. Mengutip sanggahan wakil Mendiknas terhadap tuduhan korupsi di balik menggelembungnya dana kurikulum 2013, memang Mendiknas dan juga Kemendiknas tidak korupsi, namun mereka hanya tidak paham dan tidak mau paham mengenai apa yang sedang mereka perbuat terhadap pendidikan anak bangsa.
Di balik berbagai fakta kelam tersebut masih terbersit harapan bahwa rakyat Indonesia, terutama pelajar dan guru, semakin melek akan bagaimana idealnya pelaksanaan pendidikan sebagai pengembangan dan perkembangan potensi rakyat. Sampai harapan tersebut menjadi kenyataan kita masih belum terdidik dan belum merdeka. Perjuangan kemerdekaan belum selesai dan hanya bertransformasi dari adu senjata menjadi adu ideologi dan pemikiran.
Penulis adalah pendidik musik dan budaya di Jakarta
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...