Benarkah COVID-19 Buatan Laboratorium?
BEIJING, SATUHARAPAN.COM – Seiring penyebaran COVID-19 di seluruh dunia yang menelan semakin banyak korban jiwa, pertanyaan seputar asal-muasal virus ini kian bertambah.
Baru-baru ini, para ilmuwan menyimpulkan bahwa sindrom pernapasan akut parah coronavirus2 (SARS-CoV-2), virus penyebab penyakit COVID-19, "bukanlah buatan laboratorium atau virus yang dengan sengaja dimanipulasi."
Menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada Selasa (17/3) di jurnal Nature Medicine, Kristian Andersen, lektor kepala bidang imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research, bersama para profesor dari Universitas Tulane, Universitas Sydney, Universitas Edinburgh dan Universitas Columbia, menganalisis fitur virus ini dan menarik kesimpulan mereka dalam sebuah artikel berjudul "The proximal origin of SARS-CoV-2".
Berdasarkan data pengurutan COVID-19 yang sandinya dibaca oleh para ilmuwan China tak lama setelah wabah merebak, tim peneliti ini menganalisis template genetik pada protein tonjolan (spike protein), atau tonjolan di luar badan virus yang digunakan oleh virus untuk menyerang sel manusia dan hewan.
Berfokus pada dua fitur SARS-CoV-2, yakni protein tonjolan dan rantai utamanya, para peneliti menemukan virus ini sangat efektif saat menginfeksi manusia, tetapi secara substansial berbeda dari corona virus yang telah diketahui, serta sebagian besar mirip dengan virus-virus terkait yang ditemukan pada kelelawar dan tenggiling.
Menyatakan bahwa SARS-CoV-2 merupakan corona virus ketujuh yang diketahui menginfeksi manusia, tim peneliti memaparkan di dalam artikel tersebut, "Ini menjadi bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukanlah produk dari manipulasi yang disengaja."
"Jika manipulasi genetik benar dilakukan, salah satu dari beberapa sistem genetika arah-balik (reverse-genetic systems) yang ada untuk beta corona virus kemungkinan akan digunakan. Namun demikian, data genetik secara tak terbantahkan menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 tidak diturunkan dari rantai utama virus mana pun yang sebelumnya pernah digunakan," menurut artikel tersebut.
Hasil ilmiah ini diperoleh di hari yang sama saat sejumlah politisi Barat menyebut COVID-19 sebagai "virus China", sebuah pernyataan yang menyesatkan publik.
Menanggapi pelabelan yang salah itu, Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Michael Ryan mengatakan pada Rabu (18/3), "Sangat penting bagi kita untuk berhati-hati dengan bahasa yang kita gunakan, jangan sampai menyebabkan stigma individu yang dikaitkan dengan virus ini."
"Ini waktunya untuk maju bersama memerangi virus ini," katanya. (Xinhua/Ant)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...