Bencana dan Miskin Pengetahuan
SATUHARAPAN.COM – Bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Jemblung, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah telah memakan korban puluhan orang, dan ratusan kehilangan tempat tinggal. Ini adalah bencana terbaru, terjadi pada Minggu (13/12) yang menimpa negeri kita.
Yang menarik untuk kita perhatikan selain nasib yang dihadapi para korban, adalah bahwa kawasan ini telah lama diidentifikasi sebagai daerah rawan longsor. Tim peneliti Universitas Gadjah Mada tahun 2007 mengidentifikasi Kecamatan Karangkobar pada peringkat pertama daerah berisiko tinggi.
Alat deteksi longsor buatan perguruan tinggi ini gagal dipasang tahun itu, karena hambatan sosial. Padahal jika alat itu dipasang akan memberi peringatan terjadinya longsor melalui bunyi sirine untuk mencegah jatuhnya korban.
Menyusul bencana di Banjarnegara, dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Dr Wahyu Wilopo ST Meng, menyebutkan 60 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah lereng dataran tinggi yang rawan longsor. Dia menyebutkan 95 persen kasus tanah longsor terjadi karena drainase yang tidak baik, dang dipicu curah hujan yang lebat.
Selain itu, peta kebencanaan di Indonesia juga sudah banyak dibahas dalam berbagai diskusi dan seminar, serta berdasarkan banyak kajian. Artinya, sebagai sebuah fakta dan data tentang kebencanaan kita telah memiliki cukup banyak, bahkan sebagai informasi telah banyak tersedia.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini, sehingga masih terus terjadi bencana, dan korban terus berjatuhan? Berbagai kasus mencerminkan kita kurang mengatisipasi terjadinya bencana, meskipun kita tahu akan terjadi dan tersedia informasinya.
Gagap Pengetahuan
Pepatah mengatakan bahwa informasi yang tidak dilaksanakan tidak pernah menjadi pengetahuan. Berkaca dari pepatah ini, kita rupanya lebih banyak membahas bencana ini dalam tataran sebagai informasi ketimbang pengetahuan. Ini tercermin dalam tindakan dan manajemen kita mencegah bencana atau setidaknya mencegah jatuhkan korban akibat bencana.
Gagal dipasangnya alat deteksi longsor di kawasan Banjarnegara itu, menunjukkan kita sebagai masyarakat, pemerintah dan rakyat masih memiliki hambatan besar dalam memanfaatkan informasi kebencanaan untuk kepentingan bersama. Kita masih gagap untuk mengembangkan informasi yang dimiliki menjadi pengetahuan yang bermanfaat secara nyata bagi kehidupan bersama, dengan cara mengimplementasikan. Jadi kita bisa saja kaya informasi, tetapi mungkin masih miskin pengetahuan.
Ini bisa menjadi keprihatinan yang serius, sebab, kaum bijak menyebutkan bahwa kearifan atau kebijakan hanya terjadi ketika satu masyarakat mampu menjadi masyarakat pembelajar yang mengembangkan fakta dan data menjadi informasi bagi semua. Informasi yang diterapkan dengan sungguh-sungguh akan menjadi pengetahuan yang berguna, dan pengetahuan yang terus disempurnakan akan membawa kepada kearifan suatu masyarakat.
Oleh karena itu, kita perlu membangun kesadaran baru untuk aksi yang sejalan dalam menyikapi informasi potensi bencana. Kertas catatan yang hanya jadi bahan diskusi akan ‘’mati’’ tanpa penerapan. Penerapan di lapangan akan menjadikan kita terus menyempurnakan untuk manfaat terbaik.
Integrasi Sosial
Jadi, di mana masalahnya sehingga kita gagap mengembangkan informasi kebencanaan menjadi pengetahuan dan manajemen untuk antisipasi terbaik menghadapi bencana? Masalahnya terletak pada integrasi kita sebagai masyarakat dan bangsa masih lemah.
Politisi kita lebih banyak sibuk pada kepentingan diri dan kelompok yang fokus pada perebutan kekuasaan. Birokrasi masih jauh dari spirit melayani rakyat, bahkan berwatak penguasa. Dalam kehidupan sosial, kepentingan bersama kita sering dilumpuhkan oleh kekuatan dan kepentingan kelompok tertentu, dan mengabaikan kelompok lain yang lemah. Akibatnya, kita membuang banyak energi untuk ‘’persaingan internal’’ bukanya untuk penguatan melalui kerja sama.
Dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh, termasuk dalam menghadapi kemungkinan bencana yang bisa diperkirakan tetapi tidak bisa diprediksi waktunya, diperlukan visi dan mindset kebersamaan. Hal itu membutuhkan pengerahan energi untuk kerja sama dalam internal kita, dan dalam koteks persaingan, kita lakukan dengan pihak eksternal. Bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, belajar dari bencana yang terjadi dan dialami oleh masyarakat kita, termasuk yang terakhir di Banjarnegara, kita harus berani memperkuat integrasi masyarakat dan bangsa. Kita memerlukan keterbukaan untuk menjadi masyarakat pembelajar yang mengembangkan pengetahuan. Dengan begitu kita akan menggunakan informasi yang ada pada kita untuk pengetahuan yang manfaatnya dirasakan bersama, untuk semua hal selain kebencanaan. Kita perlu terus belajar untuk menyempurnakan pengetahuan itu agar kita menjadi masyarakat yang arif, termasuk dalam mengantisipasi bencana.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...