Bentrokan Berdarah di Mesir Dikecam Berbagai Negara
KAIRO, SATU HARAPAN — Perdana Menteri pemerintah sementara Mesir mengaku telah berupaya melakukan mediasi, namun protes telah mencapai kondisi tidak menghormati negara. Hal itu dikatakan Perdana menteri Mesir, Hazem el-Bedlawi, berkaitan dengan pembubaran demonstrasi pendukung presiden terguling Mohammed Morsi yang menjadi peristiwa berdarah sejak Rabu (14/6). Protes dan kecaman pun datang dari berbagai negara.
Pemerintahnya yang didukung militer Mesir membela keputusan pemerintah untuk membubarkan konsentrasi massa pendukung presiden terguling, Muhammed Morsi. Ia mengatakan pemerintah tidak punya pilihan selain bertindak. Dalam konferensi pers Rabu (14/8) malam waktu setempat, Hazem el-Beblawi mengatakan, keputusan untuk membubarkan demonstrasi tidak mudah. Sebelumnya, pemerintah telah berupaya melakukan mediasi.
“Kami menemukan bahwa protes-protes tersebut telah mencapai kondisi yang tidak menghormati negara,” katanya. Ia menambahkan, “Telah terjadi penyebaran anarki dan serangan terhadap rumah sakit dan kantor polisi.”
Bentrokan Pendukung Morsi dan Pasukan Keamanan
Jalan-jalan di kota terbesar kedua Mesir, Aleksandria, tampak sepi pada Rabu malam setelah tentara memberlakukan jam malam, antara pukul 19.00-06.00 waktu setempat (00.00 – 11 WIB). Pemerintah memutuskan negara dalam keadaan darurat selama sebulan ke depan setelah kerusuhan itu.
Kerusuhan terjadi setelah polisi anti huru hara yang didukung oleh kendaraan lapis baja, buldozer dan helikopter menyapu dua perkemahan pendukung Morsi, mengakibatkan bentrokan di jalanan Kairo dan kota-kota Mesir lainnya.
Pasukan keamanan menembak mati puluhan orang dalam serangan mereka di pusat-pusat demonstrasi, ââmengabaikan permintaan dari dunia internasional untuk menahan diri. Ketegangan pemerintah dengan kaum Ikhwanul Muslimin pendukung Morsi sudah berlangsung selama enam pekan.
Wakil Presiden, Muhammad El-Baradei, yang baru saja mengundurkan diri mengatakan, sebenarnya cara damai masih bisa ditemukan untuk mengakhiri konfrontasi, tetapi mayoritas anggota kabinet memutuskan untuk menggunakan kekerasan.
Perdana Menteri Beblawi mengatakan bahwa ia berharap kondisi darurat akan sesingkat mungkin. Ia menambahkan pemerintah berkomitmen mengikuti road map pemulihan demokrasi yang sudah disepakati dengan militer.
"Ada kebutuhan bagi negara untuk campur tangan secara luar biasa, yaitu dalam bentuk hukum darurat. Insya Allah, kami akan terus bertahan. Kami akan membangun demokrasi, negara sipil kami," kata Beblawi.
Jam Malam Diberlakukan
Secara nasional, setidaknya 238 warga sipil tewas, kebanyakan mereka adalah yang terlibat bentrokan. Di sisi lain, 43 anggota kepolisian Mesir termasuk di antara mereka yang tewas, kata pemerintah. Korban tewas terus meningkat, menurut Ikhwanul Muslimin, jumlah sebenarnya tewas lebih dari 2.000. Berita tentang korban tewas simpang siur, dan berbagai media memberitakannya dengan angka yang berbeda.
Ribuan pendukung Morsi itu telah berkemah di dua lokasi utama di Kairo, Masjid Rabaah al-Adawiyah dan Lapangan Mustafa Mahmud, sejak ia digulingkan tentara pada 3 Juli. Mereka bersumpah tidak meninggalkan lokasi itu sampai Morsi kembali berkuasa.
Namun, militer menyapu bersih tempat utama mereka di ibu kota dan memberlakukan jam malam di 14 provinsi. Dikabarkan, polisi telah menangkap para pemimpin kunci Ikhwanul Muslimin. Namun di sisi lain, masih ada ajakan kepada pendukung Morsi untuk kembali turun ke jalan-jalan Kairo, mengabaikan jam malam.
Korban dari Pihak Wartawan
Dua wartawan tewas dalam kekerasan itu. Mick Deane, juru kamera Sky News Channel, Inggris, dan Habiba Abd Elaziz, reporter koran Xpress berbasis di UEA. Mereka meninggal akibat luka tembak.
Kecaman dari dunia internasional terhadap kekerasan datang bertubi-tubi. Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, menyebutnya “menyedihkan”. Amerika Serikat awalnya tidak mengkritik penggulingan Morsi dan menghindari penggunaan istilah “kudeta”. Berdasarkan hukum AS, jika ada kudeta bantuan tahunan militer dari AS, US$ 1,3 miliar (Rp 13 triliun) bagi Mesir harus dihentikan.
PBB, Uni Eropa, Inggris, Prancis, Iran, Qatar, dan Turki mengecam keras penggunaan kekerasan oleh pemerintah sementara yang didukung militer. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, meminta pasukan keamanan untuk "menahan diri sepenuhnya". (www.aljazeera.com)
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...