Berbagi dalam Selembar Batik Tulis
REMBANG, SATUHARAPAN.COM - Hari Jumat (15/7) menjelang waktu asar satu keluarga wisatawan asal Yogyakarta sedang memilih-milih batik tulis motif siang-malam (motif dominan warna merah darah/gethih pithik) ditemani karyawan toko.
Tidak lama berselang pasangan ibu-bapak datang membawa bungkusan berisi tujuh helai batik tulis. Santoso Hartono, pemilik usaha batik segera menemui ibu-bapak itu sambil mempersilakan wisatawan Yogyakarta tetap melihat-lihat koleksinya.
"Piye? Gak cocok? (Bagaimana? Tidak Cocok?)," tanya Santoso Hartono kepada pasangan ibu-bapak. "Nek gak cocok digowo mrene, diijolno wae (Kalau tidak cocok dibawa dan ditukar saja)."
Santoso Hartono adalah pemilik usaha batik tulis Lasem Pusaka Beruang. Santoso merupakan generasi ketiga usaha batik keluarga yang sempat terhenti pada akhir 1980-1990 an karena tidak adanya regenerasi ditambah lesunya pasar batik tulis saat itu.
Selepas lulus SMA tahun 1987 Santoso justru memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Beberapa pekerjaan digelutinya. Hingga mengambil keputusan untuk pulang ke Lasem, Rembang pada tahun 1999. Setelah menikah dia mulai memikirkan untuk meneruskan usaha batik keluarga setelah mendapat ajakan dari mendiang Naomi Susilowati (pemilik usaha batik tulis Maranatha).
Baru pada tahun 2005 bersama-sama dengan pengusaha batik lainnya, Santoso mulai serius menekuni usaha batik tulis Lasem diantaranya Sugiyem (Pesona Canthing), Rifai (Batik Ningrat), mbak Win (Sumber Rejeki), Mudjiyono, serta Hartono (Pusaka Beruang).
Saling percaya
Menjaga kepercayaan menjadi kunci sukses usaha Santoso. Di tengah jatuh bangunnya membangun usaha batik Lasem, kepercayaan dari pasar adalah hal utama. Itu ditunjukkan dengan tingkat kepuasan dan layanan dalam penjualannya.
"Saya memberikan jaminan kualitas bagi pelanggan. Mau itu dipakai sendiri ataupun dijual lagi, kalau dirasa tidak cocok silakan dibawa ke sini. Ditukarkan. Dengan catatan barang tidak rusak," kata Santoso kepada satuharapan.com Jumat (15/7). Sejauh ini untuk reseller jika ada batiknya yang tidak laku, Santoso mempersilakan untuk menukarkan dengan desain yang lain yang lebih cocok dengan selera konsumennya.
Dengan cara itulah Santoso membangun kepercayaan dengan konsumennya. Bahkan pada pedagang yang telah dipercayaainya, Santoso membolehkan batiknya dibawa terlebih dahulu dan dibayarkan setelah laku. Pola yang demikian sudah berjalan sejak usaha batiknya mengalami peningkatan. Baginya kepercayaan kepada reseller akan membawa kelancaran usahanya.
Santoso memproduksi batik tulis Lasem dengan harga terjangkau. Harapannya dengan harga terjangkau tersebut batik Lasem semakin dikenal masyarakat luas.
"Meskipun harga terjangkau, saya tetap menjaga kualitas. Pengawasan tetap saya lakukan pada seluruh tahapan. Terlebih untuk desain dan pewarnaan karena itu menjadi ciri khas batik saya," lanjut Santoso.
Untuk mendukung itu sejak awal menghidupkan kembali usaha batik keluarga, Santoso membenahi terlebih dahulu tempat pencelupannya. Hingga saat ini Santoso terus mengembangkan tiga warna yang menjadi salah satu ciri khas batiknya: merah darah ayam (getih ayam), biru, dan hitam. Meski begitu untuk desain dan warna lain, Hartono tetap memperhatikannya.
Berbagi dalam selembar batik
Mengawali kelahiran kembali usaha batik keluarganya, pada awalnya Santoso hanya memiliki 4 karyawan.
"Saya menggunakan nama Pusaka Beruang itu kan slemoran (plesetan). Pusaka itu canthing batik sebagai senjata untuk menghasilkan uang (beruang)," kata Santoso menjelaskan asal usul nama usahanya. Dalam sebuah pertemuan awal dengan perajin batik di tahun 2005 dengan pihak Pemda Rembang saat itu yang mencoba melakukan pembinaan usaha batik tulis Lasem. Nama Pusaka Beruang itulah yang pertama kali ada dalam benaknya hingga terkenal sampai saat ini.
Saat ini Pusaka Beruang mempekerjakan 150 karyawan tetap serta 750 pembatik/pemopok yang bekerja lepas dan menyetorkan batikannya pada Pusaka Beruang maupun menyetorkan ke pengusaha batik lainnya. Dari jumlah yang ada 60 % pembatik lepas sampai saat ini rutin menyetorkan ke Pusaka Beruang.
"Merintisnya itu yang susah karena batik itu awalnya dari keluarga (pembatik). Bertahap nanti anaknya ikut belajar. Ini saya fasilitasi. Nanti kalau sudah bisa saya sediakan bahan yang lebih bagus lagi. Tapi saya tetap membebaskan kalau dia mau menyetor ke pengusaha lainnya. Hanya yang desain saya ya harus dikembalikan ke saya," kata Santoso saat menjelaskan regenerasi pembatik yang sejak awal dilakukan agar ada ketersambungan generasi pembatik di Rembang.
"Kita (bisa saja) jual mahal tapi serapan kerja tidak ada, mendingan saya jual murah tapi semua bisa kerja," kata Santoso. Sebagai gambaran harga selembar batik tulis Lasem Pusaka Beruang mulai dari Rp 100.000 hingga Rp. 1.000.000, dengan kisaran harga jual terbanyak pada rentang harga Rp 250.000-Rp 400.000. Cukup terjangkau untuk harga sebuah proses batik tulis yang cukup rumit dan memerlukan ketelitian.
Dengan serapan tenaga kerja yang bisa dibilang tidak sedikit, Santoso mencoba untuk mempertahankan serapan tersebut dengan bersiasat dalam penentuan harga jual: harga yang terjangkau.
"Batik saya masih terusan agar batik bisa terus bertahan. Awalnya belajar nglengreng nanti kalau sudah bagus diteruskan dengan batik sisi dalam. Dengan begitu ada proses (pembelajaran) yang terus berjalan," lebih lanjut Santoso menjelaskan proses regenerasi yang dilakukan pada pembatik binaannya.
Secara garis besar membatik itu meliputi proses mendesain motif/pola, membatik (lengreng), menembok (mopok), mewarnai (nyelup), meluruhkan malam (nglorot), kalau sudah selesai terus dijemur. Prosesnya akan semakin rumit ketika batik lebih dari satu warna. Setiap tahapan punya tingkat kerumitan masing-masing.
Mata rantai serapan tenaga kerja tersebut akan semakin panjang ketika selembar batik sampai pada konsumen: pedagang keliling, toko-toko souvenir, penjual online, jasa cetakan packaging, jasa ekspedisi.
Dari setiap batik yang terjual, Santoso menyisihkan 10 ribu rupiah yang diberikan kepada pembatiknya sebagai bonus. Bonus tersebut diberikan Hartono saat menjelang lebaran sebagai tunjangan hari raya (THR). Tahun 2016 Hartono menyalurkan THR sebesar 216 juta rupiah. Artinya dalam satu tahun produksi Pusaka Beruang mampu menjual 21.600 helai batik tulis Lasem. Dengan kemampuan menghasilkan 3.000 lembar batik tulis setiap bulan, Pusaka Beruang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat dengan berbagai mata rantainya. Tidak berlebihan jika pemerintah RI memberikan penghargaan Upakarti untuk Jasa Pelestarian pada Santoso Hartono pada tahun 2010.
Dibutuhke wong akeh, mbutuhke wong akeh, gawe bungahe wong akeh, (diperlukan banyak orang, memerlukan banyak orang, serta membuat gembira banyak orang), tiga hal yang diterapkan Santoso Hartono secara tidak langsung mengantarkan usaha batik tulis Lasem yang berada di Jalan Jatirogo No. 34 Lasem-Rembang bisa berjalan stabil dan eksis.
Dalam selembar batik, Santoso Hartono mencoba berbagi kegembiraan dengan sesamanya.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...