Berhenti Cap Pengungsi dengan Imigran Ilegal
BOGOR, SATUHARAPAN.COM — Mengatasi isu pengungsi yang kurang dapat perhatiaan, JRS (Jesuit Refugee Service) mengumpulkan organisasi-organisasi kemanusiaan non pemerintah dalam workshop “Refugee Protection” selama tiga hari (21-24 Maret) di Cisarua, Bogor. Harapannya kelompok-kelompok kecil ini bisa berkolaborasi dalam menangani isu kepengungsiaan. Di antara topik yang didiskusikan, ada bahasan menarik tentang usulan terhadap media untuk membedakan pengungsi dan imigran ilegal.
Pengungsi atau yang biasa disebut refugee adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena suatu ancaman. Sedangkan imigran ilegal adalah orang-orang yang masuk ke suatu negara dengan cara yang tidak legal.
Pengungsi mungkin bisa jadi imigran ilegal, tapi imigran ilegal belum tentu pengungsi. Kerap kali pemberitaan pengungsi di media tidak menguntungkan mereka. Salah satu contoh penggunaan kata ‘imigran ilegal’ memperkeruh pandangan masyarakat tentang identitas mereka.
Di Indonesia, disebutkan ada 14.425 pengungsi yang terdata UNHCR pada Januari 2017. Jumlah yang terbilang besar itu bukan karena arus datangnya pengungsi yang semakin banyak, namun jumlah pengungsi yang mendapatkan negara penempatan atau resettlement yang semakin sedikit, apalagi dengan kondisi Amerika, yang lewat kebijakan Trump untuk mengurangi jumlah datangnya pengungsi dari 10.000 orang menjadi 5.000.
Dari 14.425 orang pengungsi, 6.538 orang berada di Jakarta dan sekitarnya. Ini adalah tempat paling banyak karena memudahkan akses mereka mengurus data ke kantor pusat UNHCR di Jakarta. Sisanya tersebar di seluruh Indonesia, di antaranya Surabaya, Medan, Aceh, Ambon, Pontianak dan beberapa tempat lainnya.
Workshop itu melibatkan beberapa organisasi kemanusiaan, di antaranya Dompet Dhuafa, JRS Learn Project, JRS Be Friend, Yayasan Puspita, LBH Bogor Raya, dan beberapa akademisi dan intrepreter.
Jesuit Refugee Service Indonesia
Lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang kepengungsiaan selama 30 tahun terakhir ini didirikan pada 14 November 1980, sebagai jawaban atas penderitaan ‘manusia perahu’ asal Vietnam di Pulau Galang. Berpusat di Kota Yogyakarta, Yayasan JRS Indonesia lebih mengkonsentrasikan programnya di sekitar Cisarua karena banyaknya pengungsi yang berdiam di sana.
Meskipun berbasis Katolik, Yayasan JRS Indonesia mengedepankan multikultural. Karena untuk mengatasi isu pengungsi ini tidak mungkin satu atau dua organisasi saja. Jadi JRS membagi ruang untuk berkarya bersama organisasi kemanusiaan lain mengatasi isu kepengungsian.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...