Berhenti Menjadi Toxic Parents!
SATUHARAPAN.COM - Pernah mendengar kata-kata "Tidak ada sekolah menjadi orang tua"? Iya, itulah salah satu mengapa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan orang tua belajar dari pengasuhan orang tua mereka terdahulu, sehingga aturan, sikap, dan perilaku pun serupa. Padahal zaman berubah dan kriteria kebutuhan dunia pun berubah.
Jika membahas tentang generasi masa kini, sekarang sudah berbeda. Mungkin di zaman dulu, memukul anak merupakan hal wajar, tetapi zaman sekarang sudah tidak ada ‘trend’ lagi bahkan sudah ada aturan pemerintah untuk perlindungan anak terkait dengan kekerasan fisik. Dulu membandingkan anak merupakan hal yang lumrah karena diharapkan membantu anak untuk lebih disiplin dan agar anak lebih termotivasi, tapi sekarang bukannya terpacu malah berdampak negatif secara psikologis bagi anak, seperti munculnya perasaan rendah diri atau pun rasa tertekan karena tuntutan orang tua.
Toxic parent, sekarang ini sedang ramai menjadi bahan pembicaraan. Toxic parent sendiri bisa diartikan sebagai orang tua yang “Meracuni” kesehatan psikologis anak, sehingga berdampak kepada empat area kehidupan anak dimulai dari area fisik, area kognitif, area sosial, dan area emosi.
Ada enam jenis dari toxic parent, yaitu tipe orang tua sempurna, tipe orang tua tidak memadai, tipe orang tua sebagai pengawas, tipe orang tua pemabuk, tipe orang tua mempermalukan, dan tipe orang tua pelaku kekerasan.
“Orang tua Sempurna”. Biasanya cenderung menuntut anak menjadi sempurna. Saat ada anak yang tidak mengikuti aturan, orang tua menganggap sebagai bentuk ‘penyerangan’, sehingga orang tua langsung menghina dan mempermalukan anak, menghancurkan harga diri, bersembunyi di balik tujuan baik "melemahkan karakter". Hal ini berdampak pada emosional anak yaitu menjadi krisis emosi.
“Orang tua tidak Memadai”. Biasanya cenderung tidak memperhatikan kebutuhan anak. Orang tua dianggap tidak berdaya dan tidak bertanggung jawab terhadap anak. Keadaan membuat anak tumbuh lebih cepat dan memenuhi kebutuhan sendiri. Contoh: kakak harus bisa urus adik karena orangtua sakit keras.
“Orang tua sebagai Pengawas”. Biasanya cenderung dikontrol oleh orang tua. Bentuk pengontrolan dari orang tua dianggap sebagai bentuk perhatian, padahal orang tua hanya perduli kepada diri sendiri. Cenderung membuat anak bergantung kepada orang tua dan membuat anak merasa tidak berdaya, dengan prinsip “Orang tua pasti kasih yang terbaik.” Hal ini membuat anak tidak memiliki keinginan untuk aktif, eksplor, mengatasi kesulitan, cenderung menjadi anak pencemas.
“Orang tua Pemabuk”. Biasanya orang tua pecandu alkohol/pengguna narkotika dan cenderung menyangkal bahwa orang tua mengalami masalah. Orang tua cenderung mengunakan alkohol dan atau narkotika untuk menghilangan stress, sehingga anak hidup dalam ketakutan. Misalnya takut mengkhianati keluarga secara tidak sengaja/mengungkapkan rahasia. Anak akan tumbuh menjadi penyendiri, tidak tahu bagaimana membangun persahabatan/hubungan, kadang muncul rasa cemburuan dan curigaan tanpa alasan.
“Orang tua yang Mempermalukan”. Biasanya orang tua cenderung menghina dan mengkritik anak/mengolok-oloknya tanpa alasan. Bisa berupa sarkasme, ejekan, julukan yang menghina. Dimulai dengan perasaan orang tua yang merasa tersaingi, sehingga cenderung memandang anak tidak mampu apa-apa. Pemikiran orang tua, "Kamu tidak bisa lebih baik dari saya." Anak cenderung merasa gagal dan meremehkan kemampuannya.
“Orang tua sebagai Pelaku Kekerasan”. Orang tua menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dan hal biasa. Bagi orang tua, inilah satu-satunya kesempatan untuk melampiaskan amarah, mengatasi masalah dan emosi negatif. Ada dua jenis kekerasan, yaitu kekerasa fisik dan kekerasan seksual. Berdampak negatif bagi anak, seperti merasa tidak berdaya dan putus asa. Mulai membenci diri mereka sendiri, emosi kurang stabil karena merasa marah dan rasa bersalah hingga keinginan untuk balas dendam.
Beberapa tips yang bisa diberikan kepada orang tua, yaitu:
- Pelan-pelan Menyadari masa lalu. Kita tidak bisa mengubah orang lain termasuk orang tua dulu, tetapi kita bisa mengubah diri sendiri. Saat kita sadar bahwa pengasuhan di zaman dulu menyakitkan kita, yuk pelan-pelan berdamai dengan keadaannya, sehingga anak kita nanti tidak berada di posisi kita dulu.
- Hentikan lingkaran setan agar hidup lebih baik. Tidak ada orang yang sermpurna begitu pula dengan orang tua kita di masa lalu, mereka tidak sempurna. Jadi, hentikan “racun” dan luka masa lalu kita.
- Mulai belajar untuk kontrol diri dan jangan mengkritik karena kritik berbeda dengan koreksi. Koreksi itu memberikan masukan dan saran. Berikan kesempatan untuk anak agar dapat belajar.
- Yuk mulai berpikir Hidup adalah belajar. Sebagai manusia kita akan terus belajar, seperti belajar komunikasi, belajar mengenal diri, belajar memaafkan, belajar mendengarkan, dst.
- Jika diperlukan hubungi professional.
Kita memang tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tua kita, tapi kita bisa memilih untuk menjadi orang tua seperti apa.
Octavia Putri, M. Psi, Psikolog
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...