Bersiap Memasuki Bumi Baru
"We all have to do our part, because we are all in this together and it matters" (Hillary Clinton).
SATUHARAPAN.COM – Sudah beberapa minggu kita hidup dalam keadaan yang amat berbeda. Semua orang didorong untuk tidak keluar rumah, bahkan bertemu keluarga yang berbeda rumah pun tidak dianjurkan. Kantor yang dinilai layak tutup, disapu polisi, dan karyawan yang masih bekerja diminta segera pulang. Orang muda yang terbiasa hangout setelah kerja, kini hanya bisa ngobrol melalui dunia maya. Pergi ke pasar swalayan, ada pembatasan jumlah yang masuk ke dalam gerai, dan semua harus antre dengan jarak 2 meter.
Seluruh dunia berharap wabah ini segera berlalu, namun tidak ada yang tahu persis kapan. SARS-Cov-2 ini makhluk yang belum dikenal, baru saja muncul dalam kancah virus beberapa bulan lalu, sehingga perilakunya pun sulit diprediksi dengan tepat, kecuali melalui pengenalan terhadap saudara-saudaranya yang telah muncul lebih dahulu, SARS dan MERS. Dunia berharap kondisi normal segera pulih. Semakin lama wabah menetap, semakin besar dampak yang diakibatkannya, terutama ekonomi dunia. Maka setiap insan berharap kehidupan segera bisa berjalan seperti sediakala. Hidup normal, kapan akan bisa dinikmati lagi?
Jawaban banyak orang: dunia tidak akan pernah kembali seperti semula sebagaimana sebelum wabah Covid19. Itu bak sebuah aksioma. Nyatanya, setiap kali terjadi kejadian dahsyat yang berdampak global, selalu terjadi perubahan tatanan. Selalu ada status normal lain yang kemudian berlaku. A new normal, kata orang.
Terakhir kali kita mengalami kejadian mahadahsyat yang memengaruhi seluruh dunia, barangkali adalah peristiwa nine-one-one. Peristiwa runtuhnya pencakar langit di New York karena ditabrak pesawat pada 11 September 2001, telah mengubah pendekatan keamanan di hampir semua negara di dunia. Terorisme menjadi bagian kehidupan yang harus diwaspadai bagi banyak orang, dan standar keamanan berubah drastis. Wabah Covid-19 ini berdampak jauh lebih besar daripada peristiwa 911.
Seorang futurist dan pengarang, Jamie Metzl, mengatakan bahwa kita tidak akan pernah kembali kepada situasi sebelum Covid-19. Kita akan memasuki dunia baru. Akan ada tatanan baru yang diterapkan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan kerja.
Beberapa hal kecil yang akan berubah dari perilaku dalam keadaan khusus menjadi kebiasaan, adalah misalnya lebih hati-hati untuk ber-cipika-cipiki, atau bahkan bersalaman. Orang akan lebih sering menggunakan masker karena sudah menjadi lebih peka akan adanya ancaman penularan melalui saluran nafas. Rapat, pertemuan, pelatihan, kuliah jarak jauh melalui berbagai perangkat aplikasi akan menjadi cara baru berkomunikasi tanpa harus mengeluarkan waktu dan biaya besar. Semoga kesadaran akan kebersihan juga akan membaik. Virtulaisasi dan otomatisasi akan menjadi kebutuhan sehari-hari.
Jika bumi akan berubah, akankah bumi kita menjadi lebih baik, ataukah akan menjadi lebih buruk? Mungkin sebagian akan menjadi semakin baik, tetapi sebagian akan menjadi semakin buruk. Dampak ekonomi akan besar, dan semua negara harus merambat perlahan untuk mencapai kondisi yang lebih baik, sebisanya mencapai taraf sebelum wabah. Yang pasti adalah, peran manusia yang mendiami bumi inilah yang akan menentukannya.
Metzl membandingkan wabah kali ini dengan wabah Spanyol yang melanda dunia pada 1918-1920, lebih seratus tahun lalu. Ketika itu jumlah manusia di bumi 2 miliar, dan hanya 30% yang bisa membaca, dengan kata lain hanya sedikit yang cukup dapat diandalkan untuk berperan demi perbaikan bumi. Kini, seratus tahun kemudian, penduduk dunia mencapai 7,5 miliar orang, dan 86% pernah mengenyam pendidikan minimal. Berarti kini jauh lebih banyak orang yang bisa ikut memikirkan bagaimana membangun kehidupan baru setelah wabah ini.
Seratus tahun lalu, tidak ada konektivitas antarmanusia seperti sekarang, kecuali pos dan telegram, serta telepon dengan ketersediaan amat langka serta teknologi masih rendah. Kini manusia dengan mudah dapat terbang dari satu tempat ke tempat lain di belahan bumi yang lain. Teknologi komunikasi telah demikian tingginya, manusia bisa terhubung kepada informasi apa pun dalam ukuran detik.
Memang tidak semua orang berada di tingkat pengambil keputusan besar, atau kebijakan nasional, namun kebanyakan bisa punya peran pengambilan keputusan dalam skala berbeda-beda. Keputusan yang baik bagi lingkungan sendiri dan pihak lain, demi kebaikan bersama.
Mencari kebaikan bagi diri sendiri saja tak akan menyelesaikan persoalan, bahkan potensial membawa keburukan bagi semua. Kerja sama, itulah yang diperlukan. Kini, istilah gotong royong mulai dimunculkan kembali setelah seolah mati suri selama berdekade lamanya.
Dan semua bisa ikut membawa perbaikan. Khususnya yang dikaruniai kesempatan pendidikan. Benar, peran negara amat besar dalam menentukan kebijakan skala nasional, namun tak ada satu negara pun di dunia yang siap menghadapi wabah ini, sehingga banyak cacat di sana sini.
Dengan skala seperti ini, seluruh warga di dunia diharapkan mengambil peran dalam perbaikan. Setiap insan wajib merasa bahwa ada peran yang harus diambil dalam menghasilkan kebaikan bersama. Jangan hanya menunggu orang lain atau negara membuat keputusan bagi kita.
Seperti kata Hillary Clinton: ”Kita semua berada disini bersama-sama, karena itu semua wajib mengambil peran menujju perbaikan.” Metzl pun mengatakan: ”Inilah saatnya kita bersatu, bekerja sama untuk membangun bumi yang baru.” Membangun the new normal.
Ini masalah paradigma: pasif menunggu apa yang akan terjadi lalu bereaksi terhadapnya, atau secara aktif berkontribusi kepada langkah perbaikan. Menyongsong bumi baru, membutuhkan paradigma baru. Perlu perubahan paradigma dari reaktif menunggu atau proaktif berinisiatif. Agar bisa mengambil peran maksimal menuju bumi baru yang lebih baik.
Editor : Yoel M Indrasmoro
60.000 Warga Rohingya Lari ke Bangladesh karena Konflik Myan...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 60.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh dalam dua b...