Bersikap seperti Anak
Sewaktu kelemahan seseorang ditutupi oleh kekuatan orang lain, begitu pula sebaliknya, persekutuan hidup antarmanusia sungguh terwujud.
SATUHARAPAN.COM – Yesus, Guru dari Nazaret, menegaskan pentingnya bersikap seperti anak dalam menyambut Kerajaan Allah (Mrk. 10:14-15).. Sebab anak-anak, dibandingkan orang dewasa, lebih mampu bersikap setara terhadap orang lain. Itulah inti Kerajaan Allah: Allah itu Raja, yang lainnya hamba! Tak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua sama di mata Allah.
Itulah kisah manusia-manusia pertama. Penulis Kitab Kejadian mencatat: ”Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej. 2:25). Mereka tidak merasa khawatir ketika pasangan hidupnya mengetahui kelemahan mereka. Sebab mereka tahu, di samping kelemahan, mereka juga memiliki kekuatan.
Apa artinya ini? Bersikaplah terbuka, apa adanya. Memang orang akan melihat kelemahan-kelemahan kita. Tetapi, dengan hidup terbuka orang akan melihat kekuatan-kekuatan kita tanpa kita perlu menceritakannya. Tak perlu iklan di sini karena mereka bisa melihat langsung.
Anak-anak juga demikian. Mereka tidak merasa malu ketika didapati kelemahannya. Biasanya mereka hanya tersenyum. Baru setelah diejek karena kelemahan itu, mereka kadang menjadi malu atau sedih.
Dan ketika anak-anak bercerita tentang kelebihan-kelebihan mereka, kita tidak merasakan nada sombong dalam ceritanya. Mengapa? Karena mereka menceritakan apa adanya. Tak ada yang ditutup-tutupi, baik kelemahan maupun kekuatan.
Persoalannya adalah di sini: kala seseorang menutup-nutupi kelemahannya, sepanjang hidupnya dia stres karena berusaha keras menutupi kelemahan itu. Usaha keras untuk menutupi kelemahan malah membuat orang tersebut lupa mengembangkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya.
Sewaktu kelemahan seseorang ditutupi oleh kekuatan orang lain, begitu pula sebaliknya, persekutuan hidup antarmanusia sungguh terwujud. Ketika kita berfokus pada kelemahan, kemungkinan besar kita sulit untuk berseru: ”Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm. 8:10).
Menarik disimak bahwa pemazmur menggunakan kata ganti orang pertama jamak ”kami”. Kita semua setara di hadapan Allah. Kita semua adalah milik Allah. Dan karena itu kita dipanggil untuk saling melengkapi.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...