Biennale Jogja Angkat Tema “Hacking Conflict”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Perhelatan seni tahunan bertajuk Biennale Jogja kembali digelar. Biennale yang telah masuk jilid ke-13 ini secara resmi dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Drs. Umar Priyono, M. Pd pada Sabtu (1/11) di Jogja National Museum (JNM).
Biennale ke-13 tahun ini mengangkat tema “Hacking Conflict: Indonesia Meets Nigeria”. Konflik sengaja diangkat karena merupakan bagian penting dalam suatu dinamika, dalam bentuk apapun. Namun kehadiran konflik tersebut seringkali disalah-artikan sebagai sesuatu yang menakutkan. Padahal jika dikelola dengan baik, konflik tersebut justru bisa menjadi sebuah peluang untuk sesuatu yang lebih baik.
“Saya melihat kadang-kadang adanya konflik itu menjadi opportunity untuk suatu inovasi, untuk suatu breakthrough atau terobosan, satu kreativitas,” demikian disampaikan oleh Drs. Umar Priyono, M.Hum.
Anggapan sebagian kalangan yang melihat bahwa konflik adalah sesuatu yang menakutkan, tampaknya perlu untuk diubah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mulai memandang konflik dengan kacamata positif. Pasalnya jika konflik tersebut bisa dipahami secara positif, kemudian dikelola dengan baik, maka dalam kehadirannya bisa menciptakan sebuah keharmonisan yang tak terduga.
“Menurut saya dari kacamata budaya, budaya itu borderless, lintas batas, lintas suku, lintas agama, tetapi kebersamaan itu yang menjadi penting. Sehingga yang menarik adalah keretakan konflikpun bisa menjadi sesuatu yang positif. Jika kebiasaan ini bisa ditularkan, saya pikir tidak hanya bernuansa pada kesamaan, kesederajatan, tapi sekaligus juga bisa diwujudkan dari ekspresi kesenian yang dimiliki. Sehingga kalau retakan kebersamaan ini akan semakin bisa ditanamkan, saya kira kita bisa kuat di segala aspek,” ujar Umar Priyono.
Tema “Hacking Conflict” yang diangkat dalam Biennale ke-13 ini tersaji dalam berbagai karya yang dipacak di Jogja National Museum. Misalnya karya dari Emeka Ogbon yang berjudul “Los – Jogja”. Karya ini berupa instalasi suara yang diramu dengan sebuah lukisan besar yang terbentuk dari ratusan pasang mata. “Los –Jogja” membicarakan isu seputar globalisasi, imigrasi, dan politik multikulturalisme melalui suara-suara di Lagos, Nigeria. Melalui suara-suara ini, kita dimungkinkan merasa akrab dan menemukan kemiripan baru yang berbeda dengan apa yang selama ini diberitakan dari arus media utama Indonesia dan Nigeria.
Di sisi lain, Anti Tank menghadirkan karya bertajuk “Sabda Warga”. Karya ini secara langsung memotret perubahan sebuah kota, dalam hal ini Yogyakarta, yang seringkali berbenturan dengan keinginan warga. Suara-suara akar rumput ini dikemas dengan media poster. Beberapa “Sabda Warga” tersebut semisal berbunyi “Hotel Perusak Tatanan Sosial”, “Tanah Lahan Bermain Anak”, dan “Hak Warga Atas Kepentingan Ekonomi”.
Biennale Jogja ke-13 ini dihelat selama 1 November – 10 Desember 2015. Tahun ini, Biennale sengaja menghadirkan dan mempertemukan kebudayaan dari dua benua yang berbeda, Indonesia dan Nigeria. Melalui perbedaan kedua budaya inilah tersaji beragam karya, mulai dari seni lukis, intalasi, buku, dan lain sebagainya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...