Bincang Seniman JSSP #3-2019
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dua kelompok seniman patung yang terlibat dalam Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2019 yakni kelomok Mata Air dan kelompok Mata Kayu, Minggu (1/12) siang mempresentasikan konsep karya yang sudah didisplay pada JSSP #3-2019 di Pendhapa art space. Jalan Prof. Dr. Wirjono Projodikoro (ring road selatan) Yogyakarta.
Bincang seniman (artist talk) yang menghadirkan salah satu kurator JSSP #3 Soewardi bertujuan menyosialisasikan karya-karya yang ada di JSSP #3. Bincang seniman mengundang dua kelompok seniman untuk membicarakan karyanya. Dipilihnya kelompok Mata Air dan Mata Kayu sebagai representasi anak muda dan menjadi bagian dalam menyiapkan regenerasi.
Kelompok Mata Air yang beranggotakan Kusna Hardiyanto, Liflatul Muhtarom, Dedy Maryadi, Purwanto, Galuh Kusuma Atmaja pada JSSP #3-2019 menghadirkan karya berjudul A Ritual that Marks the Boundary Line.
“Konsep karya ini yaitu menandai sumbu batas garis imajiner secara simbolis dan diaplikasikan secara digital. Memvisualkan titik batas ujung Utara dan Selatan. Adanya titik tersebut diharapkan audiens bisa memvisualkan garis imajiner dengan nyata dalam salah satu teknologi digital serta mewujudkan imajinasi (imajiner) masyarakat menjadi nyata dengan adanya simbol di titik masing-masing sumbunya. Karya ini melibatkan tiga elemen yaitu patung, video, dan teknologi,” papar Liflatul Muhtarom.
Sementara kelompok Mata Kayu yang beranggotakan Albertho Wanma dan Bara Masta dalam JSSP #3-2019 mengusung konsep toilet (lavatory) yang memiliki fungsi sama pentingnya seperti halnya ruang tamu, kamar tidur, dapur dan ruangan lain dalam sebuah bangunan atau rumah. Fungsi utamanya sebagai tempat membuang hajat, suatu rutinitas makhluk hidup (manusia) yang tidak bisa disepelekan. Pentingnya ruangan ini dapat dilihat dengan adanya penyediaan berbagai jenis dan bentuk toilet pada ruang-ruang publik.
“Toilet sebagai salah satu sarana untuk buang hajat manusia, disadari ataupun tidak sesungguhnya merupakan produk budaya masyarakat. Sebagai salah satu pendukung aktivitas manusia, kondisi toilet umum bisa menjadi gambaran masyarakatnya,” jelas Bertho Wanma saat ditemui satuharapan.com pada pembukaan JSSP #3 di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Minggu (17/11) sore.
Kurator JSSP #3 Soewardi menilai karya dari Mata Air relevan dengan pesatnya perkembangan teknologi di masa kini dan merupakan hal yang menarik mengombinasikan seni patung dengan perangkat gawai. Sedangkan karya dari Mata Kayu menurutnya merupakan suatu bentuk kritik/protes bahwa toilet, di beberapa tempat sering kali dikomersialkan. Karya patung tersebut tidak mengubah objek toilet, namun mempertegas bentuk sebagai media kritik.
Konsep toilet bisa berarti kritik atau edukasi kepada masyarakat bahwa buang air besar bukan persoalan jorok melainkan melibatkan keindahan, dan tentunya kebersihan dan kesehatan.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...