B.J. Habibie dan Pengesahan RUU PKS
”Yang penting dalam kehidupan adalah saya bisa membantu agar generasi penerus lebih baik dari saya.” (B.J. Habibie)
SATUHARAPAN.COM – Masa pemerintahan BJ Habibie sebagai presiden ke 7 Republik Indonesia sungguh singkat: 512 hari saja (21 Mei 1998–20 Oktober 1999). Masa tersebut diingat sebagai masa yang sukar karena merupakan transisi dari pemerintahan otoritarian Orde Baru ke pemerintahan yang demokratis sesuai amanat Reformasi 1998.
Suhu politik saat itu belum sejuk sepenuhnya. Mahasiswa, pekerja dan relawan kemanusiaan terus mengawal agar tuntutan-tuntutan Reformasi 1998 dipenuhi. Habibie tak kurang sigap memanfaatkan masa singkat pemerintahannya dengan melakukan reformasi di bidang hak asasi manusia (HAM) khususnya hak asasi perempuan, demokrasi, hukum, politik dan pers.
Tidaklah berlebihan jika kepadanya disematkan sebutan ”Bapak Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”. Habibie menjunjung tinggi prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan yang merupakan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab. Ucapannya bahwa ia ingin membangun jalan-jalan bagi generasi penerus agar kehidupannya lebih baik dari dirinya bukanlah omong kosong.
Komnas Perempuan: Anak Sulung Reformasi
Tiga Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) di tanah air yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdiri sebagai wujud tanggung jawab negara atas kondisi tertentu hak asasi manusia di Tanah Air. Komnas Perempuan berdiri sebagai jawaban pemerintah atas tuntutan para pekerja kemanusiaan dan gerakan perempuan. Mereka menunutut pemerintah agar bertanggung jawab terhadap pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Laporan hasil investigasi tentang perkosaan perempuan-perempuan Tionghoa di beberapa kota disampaikan kepada Habibie.
Saat itu tidaklah mudah memercayai laporan para perempuan relawan dan pekerja kemanusiaan sebab para petinggi negara sendiri menyatakan, perkosaan itu tidak ada. Jenderal Wiranto sendiri menyatakan: ”Saya sudah mengunjungi beberapa rumah sakit, termasuk di Penang, tetapi saya tidak menemukan korban perkosaan, maka tidak terjadi perkosaan di tengah-tengah kerusughan.” Bahkan setelah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terbentuk, Departemen Pertahanan menyatakan bahwa perkosaan itu sekadar dugaan saja. Media massa pun tidak melakukan jurnalisme investigatif dan memilih diam terhadap tragedi perkosaan 1998.
Habibie juga tidak semerta memercayai laporan para perempuan pekerja kemanusiaan, beliau lebih memegang pernyataan pembantu-pembantunya bahwa perkosaan tidak terjadi dalam Tragedi Mei 1998. Saparinah Sadli, Carla Bianpoen, Meyling Oey-Gardiner, Herawati Diah, Mely Tan, Kamala Chandrakirana, Smita Notossanto, Ita Fatia yang hadir di Bina Graha untuk bertemu Presiden Habibie tak putus kata untuk meyakinkan Habibie bahwa fakta perkosaan perempuan-perempuan Tionghoa tersebut bukan hoaks. Kegigihan mereka akhirnya membuahkan hasil: (1) Presiden Habibie mengutuk dengan resmi kejahatan seksual Mei 1998; (2) Presiden menyertujui Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menngusut kejahatan perkosaan dan membawa pelakuknya ke pengadilan untuk diadili; (3) menyetujui permintaan perempuan-perempuan pekerja kemanusiaan untuk membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai komisi independen.
Sebagai tindak lanjut, Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 181 Tahun 1998 tentang pendirian Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 65 Tahun 2005.
Komnas Perempuan merupakan satu-satunya mekanisme khusus untuk HAM perempuan. Berdasarkan Kepres dan Perpres tersebut, pendirian Komnas Perempuan bertujuan, pertama, mengembangkan kondisi kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia; kedua, meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebuah tindakan politis yang reformis sebab kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada dasarnya adalah juga persoalan politik, hukum, pendidikan, ekonomi, kesehatan, ketenagakerjaan, agama, kebudayaan dan seterusnya.
Berdirinya Komnas Perempuan merupakan tonggak penting penegakan HAM perempuan dan penghapusan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Indonesia patut bangga sebab tercatat sebagai satu-satunya negara yang memiliki LNHAM (Lembaga Nasional hak Asasi Manusia) atau NHRI (National Human Rights Institution) khusus perempuan. Komnas Perempuan dapat dijadikan satu indikator yang menunjukkan komitmen kuat pemerintah RI untuk penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu saja, selain berdirinya LNHAM, terdapat indikator penting lainnya di antaranya ratifikasi sejumlah konvensi internasional terkait HAM perempuan dan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, legislasi dan kebijakan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Dengan meneken pendirian Komnas Perempuan, Habibie telah meletakkan penegakan hak-hak asasi perempuan serta penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai tanggung jawab negara dalam pembangunan manusia di Indonesia. Habibie menjawab amanat Konsitusi RI untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan tiap warga negara hidup bebas dari ancaman dan ketakutan. Indonesia masuk jajaran negara modern yang berkontribusi dalam menciptakan peradaban dunia yang menjunjung kesetaraan, keadilan dan perdamaian berkelanjutan.
Tonggak Baru Peradaban di Tanah Air
Dalam masyarakat patriarkis, laki-laki dipandang sebagai subyek utama dalam kehidupan. Mereka pemegang mandat ilahi untuk mengelola bumi dan segala isinya serta kehidupan. Kebudayaan dalam arti nilai, moral, etika, hukum, aturan-peraturan, seni dan kebijakan merupakan ciptaan laki-laki. Karena itu, laki-laki merupakan unsur penting dalam peradaban. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai subjek kedua, subordinat dari laki-laki. Tugas perempuan adalah pelaksana kebudayaan.
Dalam sistem patriarki sedemikian, kekuasaan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dan alam ciptaan lainnya adalah hal yang natural. Karena itu, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan tidak mengisyaratkan sinyal bahaya peradaban, tempatnya hanya di ranah domestik atau ruang privat dengan laki-laki dan atau komunitasnya sebagai pemegang wewenang atas masalah. Adat-istiadat dan hukum, agama, bahasa ikut melegitimasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam konteks lembaga negara, sejumlah legislasi dan kebijakan pemerintah juga meneguhkan kekuasaan laki-laki.
Tujuan pendirian Komnas Perempuan adalah ”mengembangkan kondisi kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia” dan ”meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan”. Artinya, mendekontruksi ”perempuan sebagai isu privat-domestik” menjadi isu politik dan publik. Ini mematahkan kebisuan dan tabu-tabu yang membungkus berbagai kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Dengan pendirian Komnas Perempuan, Habibie menyatakan bahwa perempuan bukan sekadar pelaksana kebudayaan, subyek periferal, melainkan elemen penting dari peradaban di Tanah Air dan global. Isu perempuan menyentuh semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara: ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, hukum, ekologi, demokrasi dalam hal ini pers sebagai the forth estate.
Salah satu kewenangan dan peran penting Komnas Perempuan adalah ”pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban”. Kewenangan dan peran ini menempatkan Komnas Perempuan sebagai the fifth estate di samping lembaga legislatif, judikatif, eskekutif dan pers. Artinya, Komnas Perempuan sebagai satu-satunya mekanisme HAM perempuan merupakan elemen peradaban di Tanah Air.
Itulah tonggak baru yang dipacakkan Habibie yang mengukuhkan Indonesia dalam gerakan global penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. ”.... pemerintah akan proaktif membeerikan perlindungan dan keamanan kepada seluruuh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia,” demikian pernyataan resmi yang dibacakan Presiden Habibie menanggapi laporan perkosaan perempuan Mei 1998 oleh gabungan gerakan perempuan pekerja kemanusiaan di Bina Graha. Pemerintah selaku penyelenggara negara harus bertanggungjawab melalui legislasi, kebijakan, program dan anggaran.
Melanjutkan Warisan dan Spirit yang Telah Disemai Habibie: Lanjut Desak Pengesahan RUU PKS!
Fitnah bertubi-tubi telah menghambat pengesahan RUU PKS walau tiga tahun sudah menjadi Prolegnas DPR. Fitnah tersebut antara lain: RUU PKS pro zina dan pro LGBT. Selain fitnah, perspektif agama yang sempit dan mengabaikan perspektif hak-hak asasi manusia dalam hal ini korban dan hukum juga menjadi penyebab penolakan RUU PKS. Tak kenal lelah, Komnas Perempuan mengadvokasi pengesahan RUU PKS dan mempublikasikan narasi-narasi bantahan yang diiedarkan kelompok anti RUU PKS.
Lamanya pengesahan RUU PKS oleh DPR periode 2014-2019 menunjukkan bahwa perspektif DPR selaku wakil rakyat belum berpihak kepada korban dan tidak melihat bahwa kekerasan seksual merupakan masalah yang berkait-paut dengan keadilan dan hidup bebas dari ketakutan, penegakan HAM seturut amanat Konstitusi, dan berkait-paut dengan masalah kesehatan jiwa, reproduksi pun ekonomi.
Penolakan terhadap RUU PKS oleh sebagin masyarakat mengisyaratkan, mereka belum melihat bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang merusak kehidupan korban dan pada gilirannya masyarakat sebab melanggengkan siklus kekerasan. Pelaku tak dibuat jera sementara korban dikorbankan lagi atau disalahkan (blaming the victim).
Kekerasan seksual merupakan persoalan global, tak ada negara yang luput dari kekerasan ini. Siapa saja—tua-muda-anak, kaya-miskin, disablitas-non disabilitas, terpelajar atau kurang terpelajar—bisa menjadi korban kekerasan seksual. Patriarki yang berkelindan dengan tafsir sempit agama dan budaya setempat mengakibatkan kebisuan panjang berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Tak mudah bagi korban untuk menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya akibat tabu-tabu yang melingkupi masyarakatnya. Stigma ”Hawa Sang Penggoda” menyebabkan perempuan korban sendiri disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya. Laporan tahunan kekerasan terhadap perempuan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan pada dasarnya merupakan kasus-kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh mitra-mitra pengada layanan, lembaga-lembaga pemerintah terkait dan jejaring lainnya. Di luar data laporan tersebut, tentu saja masih banyak kasus yang belum dilaporkan dan atau dibungkam secara sengaja.
Banyak urgensi pengesahan RUU PKS yang telah disuarakan melalui media sosial maupun situs jaringan. Satu korban terlalu banyak merupakan prinsip utama.
Adanya legislasi penghapusan kekerasan seksual dapat berdampak berantai secara sosial, budaya dan agama. Saya mencoba mencatat lima di antaranya. Pertama, memutus kebungkaman atas kasus kekerasan seksual karena tabu-tabu sosial. Kedua, menghapus stigma “hawa sang penggoda” (blaming the victim). Ketiga, menempatkan seksualitas sebagai isu penting yang bersifat publik; keempat, menghindari tafsir sempit dan mendorong reinterpretasi atas teks-teks kitab suci. Kelima, memutus rantai kekerasan sebab negara bertanggungjawab atas korban dan pelaku. Korban berhak atas penanganan kasus dan pemulihan sedangkan pelaku mendapat edukasi. Inilah pula yang membedakan RUU PKS dengan KUHP.
Menghormati Habibie berarti melanjutkan warisan dan spirit telah disemainya. Perjuangan untuk pengesahan RUU PKS harus terus dilanjutkan!
Referensi: Berbagai Sumber
Editor : Yoel M Indrasmoro
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...