BKKBN: Pornografi Percepat Rusak Mental Masyarakat
BANYUASIN, SATUHARAPAN.COM - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti tayangan pornografi dapat mempercepat rusaknya mental masyarakat akibat sensasi dan imajinasi buruk yang diciptakan tayangan tersebut.
“Saya kira ini era disruption, di era ini (perilaku masyarakat) cenderung individualis dan hedonis. Orang-orang ini ternyata stres-nya juga tinggi (karena paparan teknologi),” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (6/7).
Hasto menuturkan penduduk yang terkena mental emotional disorder atau gangguan emosi mental, jumlahnya meningkat dengan signifikan yakni dari 6,1 persen di tahun 2013 menjadi 9,8 persen pada tahun 2018 berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan RI melalui riset kesehatan dasar (riskesdas).
Dikhawatirkan angka itu masih terus meningkat, seiring dengan perkembangan teknologi yang makin pesat dan mempermudah akses informasi terbuka lebar. Terkait hal ini, pornografi menjadi satu dari banyak konten yang dicari masyarakat.
Hasto mengatakan tayangan pornografi dapat memicu terganggunya kinerja otak akibat fantasi yang berlebihan. Penikmatnya akan di dorong merasakan sensasi yang tidak nyata, sering onani hingga sering melakukan masturbasi.
Adanya tindakan berulang yang tidak baik tersebut kemudian membuat korban pornografi cenderung menutup diri, lebih senang hidup dalam fantasinya sendiri dan secara perlahan dari ketergantungan pada tayangan itu dapat memicu terkena gangguan jiwa ringan yang menyebabkan korban tidak bisa membedakan mana kehidupan asli dan nyata.
“Ketika dokter atau ahli jiwa bertanya pada orang yang gangguan jiwa, selalu ditanya. Apakah dulu sering onani atau masturbasi? kenapa di tanya seperti itu? karena orang-orang itu mengkhayal, hidup di alamnya sendiri dan sebetulnya orang yang hidup di alamnya sendiri itu berlatih untuk terkena gangguan jiwa ringan,” katanya.
Maka dari itu, sebagai bentuk pencegahan sekaligus memerangi pornografi, Hasto menyarankan kepada kementerian/lembaga terkait untuk mulai memberikan edukasi seks (sexual education) sejak anak masih kecil, agar timbul kesadaran dan mawas diri dari bahaya pornografi.
Edukasi yang diberikan disarankan disesuaikan dengan tingkatan kelasnya, dan lebih ditekankan pada bagaimana merawat organ reproduksinya atau cara menyelamatkan kesehatan reproduksi dari pengaruh-pengaruh buruk lingkungan sekitar.
Hasto menekankan di era yang serba canggih itu, pola pikir masyarakat harus bisa bersikap dewasa dengan tidak menerjemahkan edukasi seksual sebagai sexual intercourse (hubungan seks), melainkan hanya sebatas memberikan pengetahuan yang sekadar dibatasi penekanan perbedaan atas laki-laki dan perempuan.
“Jangan semua punya pikiran kalau diberi pelajaran berupa edukasi seks (sex education), ini menjadi kacau di sekolah, pasti anak itu pikirannya berhubungan seks, ini yang menurut saya harus diubah,” ujar Hasto.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...