Loading...
MEDIA
Penulis: Kartika Virgianti 13:10 WIB | Rabu, 24 Desember 2014

Blokir papuapost.com, Pemerintah Dinilai Naif

Ketua Umum AJI, Suwarjono (tengah), Sekretaris Jenderal AJI, Arfi Bambani Amri (kiri) saat jumpa pers di Kantor AJI. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menanggapi soal penutupan sejak beberapa waktu lalu, situs propaganda gerakan Papua merdeka, yakni papuapost.com, adalah sikap yang naif karena bukan menyelesaikan, justru akan semakin memunculkan gerakan-gerakan sejenis lainnya.

“Pemerintah ketakutan jika Papua diangkat ke internasional, isu-isu seperti gerakan kemerdekaan akan mencuat. Padahal menurut pengamatan AJI berdasarkan pengalaman selama ini, bisa jadi isu itu hanya akan muncul selama setahun, dan setelah akses dibuka seluas-luasnya, semua orang bisa masuk untuk meliput, maka isunya akan menjadi jelas,” ucap Suwarjono dalam jumpa pers di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).

Berdasarkan kebijakan dari tingkat pusat, untuk peliputan di daerah konflik seperti Papua, Banda Aceh, Poso, dan Ambon, jurnalis harus melalui sejumlah perizinan yang panjang, yakni harus menghadapi sembilan departemen untuk bisa masuk ke sana, dari BIN, TNI, Kepolisian, Kemenkumham, Deplu, dan lain-lain.

“Jurnalis dituntut harus bekerja cepat, tapi para jurnalis pasti berpikir sepuluh kali sebelum menghadapi perizinan yang seribet ini,” tutur Suwarjono. 

Keterbukaan akses di Papua menurut Suwarjono akan berdampak positif di masa depan, dibandingkan harus ditutup terus menerus, karena media-media propaganda bisa terus bergerak melalui bawah tanah.

“Kalau akses Papua terus ditutup, maka akan terus bermunculan yang seperti papuapost.com, di mana banyak berita-berita yang tidak terkonfirmasi, karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan baik di sana. Langkah pemerintah menutup papuapost.com, menurut pandangan AJI, justru akan semakin memunculkan lebih banyak media propaganda semacam ini, karena saluran informasi tidak cukup untuk mewadahi mereka,” urainya.

Apabila akses untuk meliput dibuka, para jurnalis bisa meliput kebaikan atau keburukan, dan itu disampaikan mereka secara terbuka, sehingga kekhawatiran adanya kampanye negatif di Papua tidak akan terjadi lagi.

“Kalau pun ada caci maki di awal, itu sudah biasa, mengingat sudah bertahun-tahun mereka tidak diberikan akses. Tapi sungguh naif  jika pemerintah berpikir dengan menutup satu situs, otomatis informasi akan tertutup, tidak semudah itu. Faktanya sekarang zaman dunia digital, tapi pemerintah kita tidak punya kemampuan untuk mengontrol setiap informasi yang muncul di situs-situs Indonesia,” kata Suwarjono menyesalkan.

Selain itu, senada dengan yang disampaikan Sekretaris Jenderal AJI, Arfi Bambani Amri, langkah menutup papuapost.com sebenarnya mengancam kebebasan berpendapat warga negara. Terlebih, para jurnalis asing saat ini yang mendapatkan informasi tentang Papua, mereka dapatkan dari sumber bawah tanah.

“Memang kita tahu di Papua banyak kelompok menyuarkan gerakan separatis semacam ini, tapi yang paling penting kalaupun terdapat banyak kemajuan dari apa yang sudah dilakukan pemerintah di Papua, hal baik ini juga menjadi sulit dikonfirmasi,” kata Arfi.

Maka, AJI mendorong pemerintah membuka seluas-luasnya akses bagi jurnalis lokal maupun asing yang bermaksud meliput di sana.   

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home