BMKG: Siklus El Nino Jadi Lebih Cepat karena Pemanasan Global
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Sub Bidang Analisa dan Informasi lklim BMKG Adi Ripaldi mengemukakan, siklus fenomena iklim El Nino jadi lebih cepat ketimbang sebelumnya dikarenakan pemanasan global yang terjadi di dunia.
"Pada 30 sampai 60 tahun yang lalu, El Nino dan La Nina itu siklusnya lima sampai tujuh tahun sekali, saat ini dalam lima tahun terakhir berubah menjadi dua sampai tiga tahun sekali," katanya, dalam konferensi pers terkait kekeringan di Jakarta, Selasa (20/8), yang dilansir Antaranews.com.
Fenomena El Nino, merupakan fenomena iklim yang menganggu iklim di Indonesia karena bisa menyebabkan kekeringan yang parah di seluruh Nusantara. Fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah hingga Timur tersebut, menyebabkan terjadinya kondisi kekeringan dan berkurangnya curah hujan di sejumlah daerah Indonesia.
Adi menyebutkan, El Nino yang terjadi pada akhir tahun 2018 hingga pertengahan 2019, walau dalam skala yang lemah, tetap membuat kekeringan di Indonesia lebih parah dibandingkan tahun lalu. Kendati kekeringan di musim kemarau pada 2015, yang juga disebabkan oleh El Nino, masih lebih parah dibanding tahun ini.
Adi mengemukakan, saat ini fenomena El Nino kembali terjadi pada akhir 2018 hingga pertengahan 2019, setelah sebelumnya terjadi pada 2015 yang sama-sama menyebabkan kekeringan di Indonesia.
Selain El Nino, ada pula fenomena La Nina yang menyebabkan iklim di Indonesia cenderung lebih basah dengan curah hujan yang tinggi.
Dia menjelaskan, Indonesia dihadapkan oleh dua bencana ketika dikaitkan dengan fenomena El Nino dan La Nina, yaitu kekeringan pada musim kemarau saat terjadi El Nino, dan bencana banjir serta longsor apabila terjadi La Nina.
"Kewaspadaan terhadap El Nino dan La Nina harus lebih cepat, harus bersiap dalam dua sampai tiga tahun. Karena akan jadi masalah ketika El Nino hujan kurang terjadi kekeringan, La Nina hujan begitu basah sehingga menyebabkan bencana lain yaitu banjir dan longsor,” kata dia.
Namun sebenarnya, wilayah Indonesia yang mengalami kekeringan sudah dapat dipetakan dari sebelum terjadinya musim kemarau sehingga pencegahan bisa dilakukan. Tinggal bagaimana pemerintah daerah dapat mengantisipasi dan memitigasi bencana kekeringan tersebut sebelum berdampak dan memakan korban.
Prakiraan Awal Musim Hujan 2019/2020 Mengalami Kemunduran
Sementara itu, Kepala BMKG Prof Ir Dwikorita Karnawati MSc, dalam jumpa pers Awal Prakiraan Musim Hujan 2019/2020 di Media Center BMKG, seperti dilansir situs resmi bmkg.go.id, mengemukakan pada Sabtu (17/8), kondisi iklim di wilayah kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu muka air laut, baik muka air laut yang ada di kepulauan Indonesia serta muka suhu yang berada di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Di bulan Oktober tahun 2018 yang lalu sambung Dwikorita, BMKG telah memprediksi terjadinya El Nino lemah. Dan saat ini di bulan Agustus 2019, BMKG memantau dan menganalisis bahwa saat ini El Nino lemah telah berakhir, sehingga anomali di Samudra Pasifik kembali menjadi netral. Kondisi netral ini diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun 2019.
Namun, masih berpengaruh suhu muka air laut di wilayah Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan perairan Indonesia di bagian selatan ekuator lebih dingin dari suhu normal (260 derajat – 270 derajat celsius). Akibatnya proses penguapan air laut lebih sulit terjadi, pembentukan awan-awan hujan juga menjadi berkurang. Akibatnya curah hujan rendah, katanya.
Lebih lanjut, Dwikorita Karnawati mengutarakan kondisi suhu ini diperkirakan akan berlangsung sampai bulan Oktober 2019. Implikasinya, awal musim hujan akan mundur 10 hingga 30 hari dari normalnya, dan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu Sumatera Utara, sebagian besar Riau, Jambi bagian tengah, sebagian besar Sumatera Selatan, sebagian kecil Lampung, sebagian besar Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, sebagian kecil Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.
Beberapa wilayah di Aceh, Sumatera Utara, sebagian Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Utara, Pegunungan Jayawijaya sudah mulai masuk musim hujan di bulan Agustus, September, dan Oktober.
Kemudian, khusus Papua awal musim hujan terjadi di bulan November. Tetapi di bagian selatan dan Merauke awal musim hujan terjadi di bulan Desember sehingga tidak serempak di kepulauan tersebut.
Sedangkan, untuk puncak musim hujan 2019/2020 Dwikorita menyampaikan, diprediksi akan terjadi pada bulan Januari-Februari 2020. Menghadapi kondisi puncak hujan perlu diwaspadai wilayah yang rentan terhadap bencana yang ditimbulkan oleh curah hujan yang tinggi yaitu banjir dan tanah longsor, katanya.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...